Sementara Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyayangkan rencana impor beras tersebut. Kebijakan impor tersebut merupakan sikap abai terhadap kondisi petani dalam negeri dan akan semakin menekan petani. Henry kemudian menegaskan, merosotnya harga gabah sangat merugikan petani.
Ketua Departemen Litbang Teknologi Pertanian Asosiasi petani dari Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Bandung, Andri Ramadani dengan tegas menolak kebijakan pemerintah tentang impor beras. Menurutnya, peningkatan produktivitas padi lebih efektif dari pada membeli beras dari negara lain. Tanpa impor, menurut Andri, kondisi petani sudah terpuruk, apalagi dengan adanya kebijakan impor. Menurutnya, masih ada alternatif yang bisa mengatasi kekurangan stok beras. Salah satunya intensifikasi untuk meningkatkan produksi. Meskipun jumlah lahan pertanian terus berkurang, namun ada teknologi yang bisa meningkatkan produksi padi, yakni teknologi tepat guna. Dengan teknologi tepat guna mulai pemilihan bibit, proses pengairan, cara tanam hingga proses pemupukkan dilakukan secara benar dan tepat sasaran.
Upaya peningkatan produktifitas padi sebenarnya sangat layak dilirik. Penerapan teknologi pertanian dan pemberdayaan para sarjana pertanian dalam mendampingi petani tradisional akan menyelesaikan 2 masalah sekaligus; kebutuhan pangan dan penyerapan tenaga kerja. Namun solusi ini hanya akan ditangkap jika pemerintah peduli dan cinta kepada rakyat khususnya petani. Sayangnya pemerintah saat ini lebih berpihak pada importir. Hal ini tampak dari rencana impor berbagai komoditas yang sebenarnya dapat diproduksi di dalam negeri termasuk beras. Peningkatan produktivitas dapat menguntungkan rakyat banyak namun belum tentu menguntungkan segelintir pemilik modal yang bergerak dalam bisnis impor komoditas. Tampaknya inilah poin penting di balik wacana impor di tengah surplus beras dalam negeri.
Baca Juga:“Basa-basi” Cinta Produk Dalam NegeriLebay Murahnya, Dapatkan Diskon hingga 90% dan Potongan Voucher di Shopee Murah Lebay!
Kebijakan impor beras adalah salah satu dampak dari liberalisasi pertanian oleh rezim yang berlandaskan asas kapitalisme. Liberalisasi ini merugikan petani lokal karena modal kerja petani mahal dan sulit diperoleh sementara harga komoditas hasil pertanian tidak dapat dikendalikan oleh petani akibat kebijakan impor komoditas pertanian. Hal ini bisa berakibat petani memilih mengalihfungsikan lahannya dari pada terus merugi. Tentu saja hal ini akan mengancam ketahanan pangan sebab jika bergantung pada impor maka suatu saat negeri ini akan menjadi negeri yang dikendali oleh asing yang menyuplai kebutuhan pangan. Tak hanya keamanan pangan, bahkan secara politik dan ekonomipun kita akan terancam.