Kebijakan pemerintah Indonesia saat ini dengan ekonomi neoliberalnya semakin menampakkan watak asli sistem kapitalisme yang berlepas tangan dari mengurus rakyat. Lihatlah bagaimana kebijakan pemerintah terhadap kran impor dan pintu investasi asing yang dibuka selebar-lebarnya. Apakah diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat ataukah untuk kepentingan swasta asing?
Utang luar negeri ribawi yang gila-gilaan, untuk kepentingan siapa? Faktanya, utang tersebut telah membuat pemerintah Indonesia tunduk pada kepentingan negara pemberi utang.
Adapun pembangunan infrastruktur yang dibiayai dari utang tersebut, faktanya juga tak dinikmati oleh rakyat karena tak semua bisa menjangkau harganya. Lagi-lagi, pembangunan itu ditujukan untuk para pebisnis–para investor baik dalam maupun luar negeri agar mereka mau berinvestasi di Indonesia.
Baca Juga:KBM Tatap Muka Segera Diuji Coba?Karut Marut Sistem Pertanian di Negara Agraris
Privatisasi besar-besaran juga terus dilakukan oleh pemerintah hari ini, hingga negara kehilangan banyak sumber pendapatannya. Rakyat harus membayar harga lebih mahal dari pelayanan publik yang tadinya dilakukan oleh negara, lalu malah dialihkan kepada swasta. Akibatnya hidup semakin susah.
Begitupun pembangunan yang tidak merata di wilayah Indonesia menjadi magnet masifnya urbanisasi penduduk desa untuk mencari mata pencaharian dikota menambah masalah PMKS ini sulit terurai.
Demikianlah, sistem kapitalisme telah mengharuskan negara berlepas tangan atas nasib rakyatnya. Rakyat dibiarkan secara mandiri mengurus seluruh urusannya. Rakyat harus menanggung krisis energi, melonjaknya harga pangan dan komoditi pokok lainnya, menjamurnya pengangguran, susahnya mengakses pendidikan dan kesehatan, dan taraf hidup yang kian rendah. Sehingga semakin hari jumlah PMKS semakin menggila.
Hal ini tentu saja tidak kita dapati dalam sistem Islam, dimana dalam Islam kepemimpinan sebagai raa’in (pengurus). Islam perintahkan negara melalui pemimpinnya untuk bertanggung jawab penuh menjamin maslahat umum. Negara bukan sebagai regulator, melainkan peri’ayah (raa’in) dan penanggung jawab atas urusan rakyatnya, sebagaimana sabda Rasul saw.:
“Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Islam memiliki kekhasan dalam sistem politiknya yang mengharuskan negara untuk menjalankan pengaturan urusan umat dengan aturan-aturan Islam, baik di dalam maupun luar negeri (ri’ayah syu’un al-ummah dakhiliy[an] wa kharijiy[an] bi al-ahkam al-islamiyyah).