Oleh Uqie Nai
Anggota Menulis Kreatif4
“Seratus tahun dalam rasa sakit, penderitaan, pendudukan, dan tanpa tempat tinggal.” (Raaja Mohammad, muslimah Palestina: virtual Women and The Global Call for The Khilafah).
Bukan hanya di Palestina. Rasa sakit dan sejuta penderitaan yang saat ini mendera kaum muslim di Palestina, Suriah, Myanmar-Rohingya, Uighur-Xinjiang, Pakistan, dll. tak akan sesakit melihat ulah pemimpin negara muslim lainnya yang hanya diam membisu, pura-pura tak melihat dan telinga yang tersumbat tak mendengar. Bahkan luka itu begitu menganga saat mereka berangkulan dengan pelaku pembantaian dalam sebuah drama kerjasama.
Tepat 100 tahun. Air mata tertumpah membasahi bumi Allah. Kucuran darah mengakir dan mengering. Jeritan pilu dari rasa sakit terenggutnya kehormatan wanita, teriakan pedih atas luka sayatan, cambukan, setruman, suntikan, tembakan, bombardir senjata, menggema di seantero dunia menunggu sosok pembela. Dimanakah gerangan?
Baca Juga:Harga Cabai Semakin Pedas, Islam Punya SolusinyaJaminan Pendidikan Dalam Islam
Sudah satu abad lamanya sosok penjaga dan pembela itu tiada. Ulah Kemal Attaturk laknatullah telah memporak-porandakan perisainya menjadi puing tak berharga. Tepat 3 Maret 1924 M, umat Islam memulai babak demi babak penderitaannya tanpa rasa aman dan kenyamanan.
Kepiluan dari Sebuah Kesaksian
Dua puluh satu tahanan tinggal dalam sebuah ruangan kecil. Mereka diborgol, dibotaki, setiap gerakan diawasi melalui kamera plafon. Sebuah ember di pojok ruangan menjadi toilet mereka. Aktivitas harian mulai pukul 06.00. Mereka belajar bahasa China, menghafal lagu propaganda dan mengakui dosa-dosa mereka. Usia mereka remaja sampai dewasa. Jatah makan mereka sedikit; sup dingin dan sepotong roti.
Penyiksaan ditusuk paku, kuku dicopot, disetrum, dilakukan di ‘ruang gelap.’ Hukuman berlangsung terus menerus. Tahanan dipaksa meminum obat dan disuntik. Tujuannya untuk pencegahan penyakit, padahal nyatanya mereka jadi kelinci percobaan medis. Banyak dari tahanan menderita penurunan fungsi kognitif. Beberapa pria menjadi mandul.
Nasib perempuan di kamp tersebut sangat buruk. Polisi akan membawa gadis-gadis cantik. Membawa siapapun yang mereka suka hingga terjadi perkosaan massal. Sementara mereka memperkosa tahananan wanita satu persatu, para tahanan lain tidak boleh memalingkan kepala, memejamkan mata, terlihat marah atau terkejut. Jika itu terjadi maka orang-orang tersebut akan dibawa dan tak pernah kembali. Sangat mengerikan. Kondisi tersebut bersumber dari kesaksian Sayragul Sauytbay (43), seorang guru yang melarikan diri dari kamp pendidikan China dan mendapat suaka di Swedia. Lalu, apa kabar dengan badan dunia berlabel PBB, UNESCO UNICEF atau OKI?