PURWAKARTA-Purwakarta selama ini dikenal memiliki kuliner khas Sate Maranggi yang sudah sangat terkenal di seantero Indonesia. Padahal, kuliner khas Kota Budaya ini tak melulu tentang Sate Maranggi. Sebut saja simping, kue bawang yang semakin jarang, dan Soto Sadang yang melegenda.
Khusus kuliner yang terakhir disebutkan itu bahkan telah berdiri cukup lama, yakni sejak 1974 lalu, meski baru mulai dikenal tiga tahun kemudian, yaitu pada 1977.
Nama Soto Sadang sendiri merujuk pada lokasi berjualannya, yakni di daerah Sadang yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Babakancikao, Kabupaten Purwakarta. Maka, keberadaan Soto Sadang ini bisa ditemui di rumah makan Soto Sadang Lama yang terletak di Jalan Raya Sadang atau tepatnya di bawah jembatan layang Sadang, Purwakarta.
Baca Juga:Balai Ternak Dukung Kemandirian Peternak MustahikKemendikbud Akan Evaluasi PTN Negeri dan Swasta
Pemilik Kedai Soto Sadang Lama, Wawan Ernawan (58) menceritakan awal mula Soto Sadang Lama ini berdiri. Menurutnya, Soto Sadang Lama dirintis oleh ibundanya bernama Siti Fatimah atau biasa dipanggil Ambu.
Awalnya itu, kedai soto dibangun berupa papan dan bilik. Namun, ketika telah dikenal, kedai soto ini dibangun secara permanen sekaligus diberik nama Soto Sadang Lama. Dahulu, pembeli sangatlah banyak karena memang lokasinya begitu strategis di depan Jalan Raya Sadang. “Tapi setelah adanya jembatan layang ini, ya kedai kami seperti menjadi di pojok karena ke arah Utaranya jalan buntu,” katanya saat ditemui di kedainya, Kamis (8/4).
Wawan menyebutkan, Purwakarta dahulu rumah makan arah jalur Sadang hanya ada dua, yakni Sate H Rasta (saat ini diteruskan anaknya Sate Hj Yetty) dan Soto Sadang Lama ini. Puncak kejayaan Soto Sadang Lama ini pun, kata Wawan, terjadi di era 80an hingga 90an. “Ya sebelum adanya jembatan layang dan Tol Cikopo masih ramai. Tapi, sekarang hanya pelanggan-pelanggan tetap dan memang orang-orang yang sekedar mendapat informasi dari mulut ke mulut atau dari media,” ujarnya.
Pada era 80an-90an, kata Wawan, sebanyak 1.200 mangkok bisa habis dalam sehari. Tetapi, saat ini lebih dari 50 mangkok pun sudah dia syukuri. Wawan adalah generasi kedua, setelah ibundanya meninggal pada 1995 lalu, pengelolaan Soto Sadang Lama diambil alih olehnya. Dia mengaku tetap mempertahankan cita rasa dari ibundanya. “Kami pertahankan khas di citarasa yang memang beda dari soto-soto tempat lain. Kami memakai bahan-bahan rempah yang memang membuat penikmat soto sangatlah dimanjakan,” ujarnya