Oleh :
Muhammad Bajri
Dosen Sosiologi Agama Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Muhajirin Purwakarta/ Alumni Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
SUDAH hampir dua tahun puasa yang dijalani oleh umat islam adalah puasa yang sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Karena, puasa tahun kemarin dan sekarang ada dalam kepungan virus Covid-19, di mana segala aktivitas keagamaan dihentikan.
Sementara, salat di rumah, tarawih di rumah, pengajian-pengajian Alquran yang biasanya semarak dilakukan di masjid tidak terlihat lagi ramainya. Stay at home, social dan physical distancing memang perlu dilakukan, tetapi tidak boleh kebablasaan. Sehingga, aktivitas keagamaan tidak dijalankan serta silaturahmi antarsesama menjadi terputus.
Baca Juga:Pendidikan Pemilih, KPU Gandeng STAI Al MuhajirinIni Tuntutan JPU, Perkembangan Kasus Pembakaran Gedung Kejagung
Silaturahmi harus tetap dijalankan dengan tetap mengikuti langkah dan prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan Fatwa Majelis ulama Indonesia dalam rangka menghentikan penyebaran virus Covid-19.
Puasa mengajak kita kembali kepada fitrah kemanusian dan menjadikan kita menjadi manusia yang lebih bermartabat. Selama 11 bulan kita berada dalam kubangan hawa nafsu dan keserakahan serta kezaliman.
Puasa momentum untuk melakukan introspeksi dan evaluasi atas proses perjalanan hidup kita selama ini. Berapa kali berbuat kezaliman kepada orang lain dan kepada kedua orangtua terutama kepada seorang ibu yang telah melahirkan, mendidik serta membesarkan sampai saat ini.
Puasa menjadi kesalahan fatal jika kita tidak memiliki rasa kemanusian kepada orang lain. Puasa di dalamnya banyak mengandung pesan-pesan kemanusian. Tujuan berpuasa adalah bertakwa, takwa di sini bukan hanya berdimensi keagamaan tetapi mengandung kemanusian, begitulah Imam Ghazali mengungkapkannya.
Secara teologis puasa merupakan kewajiban seorang hamba, tetapi harus memiliki dampak secara sosiologis. Ketika puasa terjebak kepada aspek teologis semata, maka puasa tidak akan menjadikan kita menjadi manusia yang bermartabat.
Dalam diskurus sosiologi islam, keimanan yang tidak melahirkan kesalehan sosial adalah keimanan yang tidak bermakna sama sekali di hadapan Allah SWT.
Puasa mengajak kita merenung dan menggunakan hati nurani. Sudah sejauh mana ketaatan kita kepada Allah SWT serta sejauh mana kita menjalankan agenda kemanusian. Keimanan dan kemanusian harus berjalan secara bersinergi supaya kita menjadi manusia seutuhnya.