Lebih menarik lagi, kasus yang saat ini menimpa Partai Demokrat dapat kita temukan komparasinya dengan manuver Recep Tayyip Erdogan di Turki. Erdogan disebut menerapkan strategi melemahkan oposisi untuk melanggengkan kekuasaannya stelah terjadi upaya kudeta pada tahun 2016. Berbagai upaya dipercaya dilakukan, yang umumnya membuat banyak anggota partai oposisi harus berurusan dengan hukum. Mulai dari penangkapan 11 anggota parlemen Peoples’ Democratic party (HDP) dengan tuduhan terorisme, hingga kader Republican People’s Party (CHP) yang mengaku mendapat intimidasi karena bersikap keras pada proses voting. Hasilnya, parlemen meloloskan rencana referendum konstitusi Turki. Itu membuat Erdogan dapat maju sebagai Presiden Turki untuk periode ketiga.
Dalam teori demokrasi, kisruh KLB Demokrat ini dapat dikatakan sebagai indikasi kemunduran demokrasi di Indonesia. Namun kemunduran demokrasi yang dimaksud disini adalah Fenomena Pendulum (gelombang naik dan turun) yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Fenomena Pendulum demokrasi ini pada satu titik tertentu dapat berayun kembali menuju rezim otoritarianisme, bahkan bisa di negara-negara yang mempraktikkan demokrasi liberal. Liberalisme yang saat ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari demokrasi tengah menghadapi ketidakpuasan, yang mungkin telah menciptakan persepsi untuk meninggalkan demokrasi itu sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa upaya kudeta Partai Demokrat adalah bagian dari dinamika demokrasi yang memang selalu berada di atas gelombang yang terkadang naik dan turun. Selain itu, akan lebih baik jika pemerintah juga mengambil sikap dalam menindaklanjuti perbuatan Moeldoko. Karena, perbuatan Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan itu telah menodai nama Pemerintah dan Presiden Jokowi. Dan menurut saya, jika Moeldoko tetap dipertahankan dalam pemerintahan, maka spekulasi-spekulasi yang telah dibahas diatas akan menjadi terbukti.(*)
Oleh : Gracia Sarah Armadani,
Mahasiswa Program Pascasarjana,
Departemen Ilmu Politik,
Universitas Indonesia