Itu bermula dari zaman reformasi. Yakni ketika siapa pun bisa bikin koran apa pun. Akibatnya wartawan dari ”koran serius” menjadi minoritas.
Di sebuah konferensi pers, wartawan sungguhan justru bisa merasa malu menjadi wartawan. Terutama saat melihat wartawan berebut amplop –sampai kantong baju panitianya robek.
Waktu itu saya sampai mengusulkan program ratifikasi. Caranya: sejumlah media profesional membuat aturan profesional.
Termasuk sistem kesejahteraan wartawan sampai ke jenjang karir. Juga soal ketentuan wartawan harus melakukan apa kalau tulisannya ternyata salah.
Baca Juga:Kena Tipu, Puluhan Warga Dijanjikan Bekerja di PT HMMISila Pancasila Ternyata Saling Berlandasan
Koran yang setuju dengan aturan itu meratifikasi. Ia mengikatkan diri pada ketentuan profesionalisme itu. Bagi koran yang telah melakukan ratifikasi akan diberi tanda khusus di dekat logo halaman depannya. Itu pertanda bahwa koran tersebut bisa dipercaya. Dengan demikian publik tahu mana koran yang profesional dan tidak.
Masalahnya, sekarang ini koran sudah kurang relevan lagi. Ketidakpuasan pada jurnalisme umumnya datang dari media online. Juga dari medsos.
Jurnalisme kini begitu mudah dijadikan alat apa saja.(Dahlan Iskan)