Sebagai rekayasa sosial, pendidikan memiliki sedikitnya lima tujuan. Yang pertama menumbuhkan sikap responsive/kepekaan spiritual. Kedua menumbuhkan sikap responsive/kepekaan sosial-sesama tanpa membedakan. Ketiga menumbuhkan sikap responsive/kepekaan terhadap bangsa, negara dan ideologi Pancasila. Keempat menumbuhkan sikap responsive/kepekaan terhadap lingkungan dan perubahana global. Kelima menumbuhkan sikap responsive/kepekaan kritis -kecerdasan bangsa.  Inilah yang dimaksud Pendidikan sebagai rekayasa sosial. Yaitu menyiapkan siswa yang mampu memberikan responsive yang tepat dan benar terhadap persoalan yang mereka hadapi dengan berbasis kepada budaya bangsa. Berbasis kepada kemampuan sendiri.
Era Pandemic Covid-19, memberikan dampak besar terhadap kualitas Pendidikan kita. Merdeka belajar diartikan dengan belajar daring tanpa ruang kelas. Bebas mencari sumber belajar. Faktanya Pandemic menurunkan kualitas Pendidikan kita. World Bank mencatat penurunan 11point dalam hal kemampuan membaca siswa. Silahkan baca laporan World Bank terkait Pendidikan di Indonesia era Pandemic.
Pandemic Covid-19 jelas memberikan pengaruh besar terhadap model Pendidikan yang dijalani. Teknologi informasi menjadi salah satu jawaban dalam layanan dan proses Pendidikan di era Pandemic Covid-19. Dengan segala dampak positif dan negatifnya, teknologi informasi menjadi harapan untuk menguatkan sistem Pendidikan.
Baca Juga:Pernah Kerja di Pabrik Makanan di Taiwan, Kini Sukses jadi Petani BawangBantu UMKM, PKB Bentuk Food Bank
Pandemic melahirkan keterikatan erat terhadap media sosial. Konektifitas kehidupan seolah beralih ke dunia maya. Dunia yang ada dalam genggaman. Media sosial adalah bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia saat ini. Dari anak-anak hingga manula (manusia usia lanjut). Semua terkoneksi dan terpenjara dalam media sosial masing-masing.seolah hidupnya ada di media sosial. Perjumpaan fisik menjadi parodi dari kehidupan maya yang sebenarnya. Sebab, hati dan pikiran lebih terkoneksi dengan dunia maya yang ada digenggaman.
Perjumpaan fisik hanya menjadi simulakra dari dunia maya. Sebuah parodi -mengejek kenyataan. Simulakra adalah salinan realitas yang telah hilang bahkan tak memiliki dasar realitas. Media sosial menjadi realitas keseharian. Manusia sibuk dengan media sosial digenggamannya ditengah perjumpaan fisik dengan sesama.
Sudah sejak dalam pikiran manusia terpenjara dalam media sosial. Bagaimana Pendidikan membebaskan manusia dari penjajahan dunia maya? Ki Hadjar semakin pusing. Dulu yang dilawan lebih jelas, penjajah Belanda yang menindas kemerdekaan fisik dan batin Bangsa Indonesia. Namun sekarang, penjajahan itu tak kasat mata. Namun nyata terasa. Dan tak bisa ditinggalkan begitu saja.