Konsep teologis Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa, ini berkelindan dengan hasrat politik Maha Patih Gajah Mada. Gajah Mada yang mempraktekkan politik kekuasaan dengan amukti Palapa. Amukti yang menunjukkan hasrat kekuasaan besar untuk menyatukan nusantara. Seolah Gajah Mada mendapatkan legitimasi dari Amuktia Palapa dan Semboyan Bhineka Tunggak Ika. Sumpah Palapa, adalah memiliki muatan ideologis. Posisi kelas seseorang menentukan ideologi. Dan sekaligus menentukan praktik laku lampahnya. Seperti Gajah Mada yang melakukan Sumpah Palapa (amukti Palapa). Sumpahnya adalah bukti dari kuatnya ideologi kenegaraan Majapahit.
Sekaligus sebagai bagian dari upaya penguatan ideologi negara.
Sira Gajah Mada patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada : “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.
Artinya setelah tunduk Nussantara, aku akan beristirahat. Setelah tunduk Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah aku beristirahat.
Proses penyatuan yang juga menggunakan penaklukan.
Baca Juga:Luncurkan bjb Sugema, Kang Akur Dukung Digitalisasi Pembayaran UMKM SubangAwas! Body Shaming Bisa Berakibat Fatal
Ini yang membedakan antara Sutasoma-Mpu Tantular dengan Amukti Palapa-nya Gajah Mada. Pupuh Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa, memiliki pijakan teologis-spiritual. Penyatuan kebenaran yang meluruhkan egoisme dan fanatisme agama, suku bangsa. Itulah yang kemudian menjadikan Indonesia utuh dan disegani. Luruhnya egoisme identitas dan kepentingan kelompok, pribadi untuk menyatu demi kepentingan bangsa.
Persatuan Indonesia harus dilandasi spiritual ketuhanan dan kemanusiaan. Meluruhkan egoisme adalah bukti tingginya nilai kemanusiaan yang akan menyatukan hati. Persatuan Indonesia yang harus terus bergerak menjadi Kesatuan Indonesia.
Persatuan dari semua identitas rakyat Indonesia yang beragama. Persatuan yang tak menghilangkan identitas kesukuan, agama, namun memiliki kepentingan yang sama. Yaitu Kesatuan Indonesia. Kesatuan yang rela menyebut nama “KAMI” ketika berbicara Indonesia. Sebab dalam frase “KAMI” melebur semua identitas untuk menyatu demi kepentingan Bersama, Indonesia Jaya, Maju, Sejahtera. “Nagara gineng pratijna” (mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan dan keluarga).