Oleh Umi Lia
Ibu Rumah Tangga, Cileunyi Kabupaten Bandung
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Idulfitri adalah hari raya umat Islam yang sangat dinanti setelah sebulan lamanya berpuasa. Umat Islam merayakannya dengan penuh suka cita, berkumpul dan bersilaturahmi dengan keluarga besar dan handai taulan. Karena itulah maka ada tradisi mudik menjelang hari raya Idulfitri bagi orang-orang yang merantau. Tapi apalah daya masyarakat, ketika ada larangan mudik. Mereka sekedar rakyat yang harus mengikuti kebijakan yang sudah diputuskan, mau tidak mau harus dilaksanakan.
Seperti sudah diketahui bersama bahwa Pemerintah Pusat merevisi aturan persyaratan bepergian menjelang Lebaran 2021. Aturan ini resmi dikeluarkan oleh Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 dalam Addendum Surat Edaran no 13 tahun 2021. Hasil revisinya adalah larangan mudik diperpanjang menjadi satu bulan dari 22 April hingga 24 Mei 2021. Menanggapi aturan Pemerintah Pusat ini, Ketua DPD Organda Jabar, Dudi Suprinda, menyatakan, “Kami hampir apatis, jelas itu merugikan bagi kami.” (Ayobandung.com, 23/4/2021)
Baca Juga:Wasiat Ki Kihadjar Dewantoro Bagian 11 “Kontinuitas”Memaknai Bulan Syawal 1442 Hijriah
Banyak pihak yang menilai kebijakan atau aturan pemerintah ini ambivalen. Ada rentang waktu yang dilarang mudik, kemudian bagaimana setelah rentang waktu itu berakhir? Diperbolehkan mudik? Selain itu, mudik dilarang tapi tempat wisata dibolehkan buka. Jika kebijakan larangan mudik ini untuk memutus penyebaran Covid-19 dan mendukung program vaksinasi yang masih berlangsung, maka seharusnya tidak ambivalen dan harus komprehensif sehingga adil untuk semua pihak.
Dalam sistem kapitalis sekuler yang diajalankan oleh negara ini, manusia diharuskan membuat aturan untuk mengatur kehidupannya. Ini adalah suatu hal yang tidak bisa diharapkan keadilannya. Bagaimana bisa adil dan menghasilkan aturan yang komprehensif, sementara manusia mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda yang tidak bisa disamakan. Jika laki-laki membuat aturan, maka aturan yang dihasilkannya tidak adil bagi perempuan.
Sebaliknya, jika perempuan membuat aturan, maka aturan yang dihasilkannya tidak adil bagi laki-laki, begitu seterusnya. Seperti itulah yang terjadi sekarang, ada aturan yang melarang mudik, sementara tempat wisata dibuka. Membawa angin segar kepada pelaku usaha pariwisata tapi merugikan para pelaku usaha transportasi. Oleh karena itu, aturan seharusnya dibuat oleh pihak yang paling mengerti manusia dan tidak punya kepentingan kepada manusia yaitu pencipta manusia, Allah Swt.