Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 47

Filsafat Pancasila sila keempat
0 Komentar

Memaknai sila keempat “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan” Bagian ke 1

Kang Marbawi

Aeng Marhaen

Marhaen, nama yang tak biasa untuk orang Sunda. Apalagi di Bandung Barat pada tahun 1920, tak ghalib nama  Marhaen. Aneh! Orang Sunda lebih dikenal dengan nama “pangnénéh” (nama kesayangan). Nama kesayangan untuk memudahkan panggilan sehari-hari seperti Asep, Icih, Ningsih, Karta, Karna dan sejuta nama dengan rasa Sunda lainnya. Nama “pangnénéh” yang juga sama digunakan pada kebudayaan lain.Nama diri atau antroponim menjadikan manusia sadar akan eksistensinya di dunia untuk mencari tujuan hidup, kebenaran, kebaikan baik untuk tujuan sosial, ekonomi, budaya, politik dan untuk tujuan spiritual.

Nama bagi orang Sunda juga budaya masyarakat lainnya bahkan di seluruh dunia, nama adalah bentuk dari “jungkiring jirim”, -bentuk formal yang utuh dari seseorang. Dengan nama, seseorang bisa dikonstruksi secara sosial, budaya, ekonomi, politik bahkan agama. Nama menjadi alat konstruksi sosial dan negosiasi identitas. Sekaligus menjadi penanda perlawanan.

Baca Juga:Anggaran Pilkades Belum Cair Tapi Aribut Sudah Terpasang, DPRD HeranKaji Landasan Hukum Bangun Pasar Swadaya

Mungkin itu – mengkonstruksi nama menjadi negosiasi identitas perlawanan,yang digunakan oleh Soekarno, ketika ketemu dengan seorang petani sederhana di daerah Bandung Selatan, tahun 1920. Nama petani itu “Aeng”. Dalam studi numerology dan cocokologi, perpaduan hurug “A”, “E”, “N” dan “G” berjumlah 27, dianggap memiliki keperibadian peduli sesama, dermawan, tidak mementingkan diri sendiri, patuh terhadap kewajiban, ekspresif dan kreatif. Tetap saja, studi numerology dan cocokologi atas nama “Aeng” tak menarik dan tak menjual bagi Soekarno. Tak menjual  dalam mengkonstruksi perjuangan Bangsa Indonesia melawan Kolonial Belanda dan membangun negosiasi identitas dan ideologi baru made Indonesia pada tahun 1920.

Tapi Soekarno terkesan dengan kehidupan Aeng. Terinpirasi lebih tepatnya. Dari kehidupan Aeng, Seokarno melihat kehidupan rakyat Indonesia secara keseluruh, sebuah masyarakat Marhaen. Rakyat yang hidup dari sebidang tanah kecil, digarap dengan alat sederhana, hasilnya hanya bisa untuk dimakan sendiri, tak punya majikan, tak dijual karena tak ada. Itulah Aeng, rakyat Indonesia, Marhaen. Nama sebuah ideologi, sebuah perlawanan.

0 Komentar