Marhaenisme bagi Soekarno adalah memperjuangkan keadilan, persamaan hak, dan memperjuangkan kepentingan kaum tertindas dengan upaya menghapuskan pemerasan dan mempersatukan semua golongan yang tertindas. Keinginan mempersatukan kekuatan semua golongan yang tertindas, yang antikapitalis dan imperialis.
Marhaenisme yang ditemukan tahun 1920 menjadi salah satu nilai yang digali dan bermetamorfosis menjadi sebuah ideologi besar, ideal dan sesuai dengan budaya, filsaafat hidup Bangsa Indonesia. Soekarno begitu percaya diri, mengenalkan Marhaenisme sebagai tawaran ideologi kepada bangsa Indonesia dan mungkin dunia. Ideologi yang genuine Indonesia, yang dilahirkan oleh pemikir Indonesia yang tak mengenyam Pendidikan Barat. Namun tetap intensif berdialog dengan pemikiran besar dunia.
Seiring perjalanan pergulatan dan kematangan berpikir, Ideologi Marhaen melebur dan mewujud dalam Ideologi Pancasila. Dan ketika mengenalkan Pancasila sebagai ideologi bagi Bangsa Indonesia pada 1 Juni 1945. Soekarno begitu percaya diri! Dan diterima!
Baca Juga:Anggaran Pilkades Belum Cair Tapi Aribut Sudah Terpasang, DPRD HeranKaji Landasan Hukum Bangun Pasar Swadaya
Marhaenisme tampaknya diletakkan sebagai pilar utama untuk mencapai masyarakat demokrasi ke arah pergaulan hidup sama rata, sama bahagia, yang disesuaikan dengan semangat dan jiwa rakyat Indonesia. Jiwa yang berdaulat! Rakyat yang berdaulat! Bukan penguasa! Bukan orang yang merasa mewakili rakyat! Karena merasa telah membeli suara rakyat pada saat Pemilihan Umum (Pemilu). Dan rakyat tak merasa diwakili dan tak sadar dibeli suaranya! Padahal modalnya berasal dari rakyat juga!
Sila keempat “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” adalah soal Daulat Rakyat! Dengan “D” besar. Bukan Daulat Penguasa! Daulat Kapitalis! Apalagi Daulat Wakil Rakyat! Bukan! Namun saat ini rakyat Indonesia, nasibnya hampir menyamai Aeng Marhaen. Tak Berdaya! Tak kuasa menghadapi daulat kapitalisme! Daulat Politik Kuasa! Karena rakyat memang dibuat tak berdaulat! Benarkah? Salam, Kang Marbawi. (220521)