Dilema Belajar Tatap Muka

Dilema Belajar Tatap Muka
0 Komentar

Selain itu akan berimbas pula pada kurikulum dan kinerja para guru yang ekstra bertanggung jawab terhadap siswa. Apalagi jika nanti masih ada orangtua yang belum megizinkan putra-putrinya untuk ikut belajar tatap muka dengan berbagai alasan kesehatan dan memilih PJJ. Alasan utama bahwa mereka para orangtua masih cemas akan risiko penularan Covid-19 yang demikian cepat dan tak bisa diduga.

Belum lagi kemampuan pihak sekolah dalam menerapkan sistem belajar tatap muka sesuai protokol kesehatan pun masih diragukan. Apa yang telah disampaikan oleh Kadisdik Kabupaten Bandung Juhana, pada Rabu (19/5) di Soreang Kabupaten Bandung (RADARBANDUNG.id) terkait mekanisme belajar tatap muka nanti akan dilakukan secara bertahap dan pola pembatasan.

Contohnya, untuk hari belajar, jam belajar dan jumlah siswa akan diatur. Tahap satu mungkin hanya seminggu satu atau dua hari dengan jumlah siswa cukup 10 orang per kelas. Jumlah jam bisa selama 20 menit. Jika tahap satu lolos, masuk ke tahap dua dengan peningkatan jumlah hari, jam dan siswa.

Baca Juga:Kebijakan Galau Rakyat RisauMakmurkah Masjid di Dekat Rumah Anda?

Ditambah lagi masalahnya karena sampai saat ini belum terbit kurikulum darurat selama masa pandemi. Otomatis para guru masih kebingungan dalam menerapkan kurikulum serta metode pencapaiannya. Baik tatap muka maupun PJJ.

Pola Pendidikan Masih Sekuler

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan negeri ini, menganut asas dan tujuan kapitalis sekuler. Walaupun sepintas seolah sudah sesuai dengan kurikulum dan tujuan pendidikan Islam. Yaitu bertujuan membuat potensi para peserta didik mampu menjadi manusia yang beriman, dan bertakwa, berakhlak baik, sehat, cakap dalam ilmu pengetahuan dan teknologi/saintek, mandiri, bertanggungjawab serta kreatif dan inovatif, dan lain sebagainya.

Masuknya spiritualistas dalam Kompetensi Inti (KI) dalam kurikulum nasional tidak cukup untuk bisa meghilangkan esensi sekularistiknya pendidikan. Karena aspek spiritualitas masih dimaknai secara sekuler dalam memandang agama, sama halnya dengan yang Barat maknai. Alhasil materi keislaman pun lebih menonjolkan teori dibanding pembentukan sikap. Karena memang sudah dirancang untuk membentuk pribadi sekuler, bukan membentuk kepribadian Islam.

Parahnya, mekanisme masa pandemi berdasarkan kebijakan, hanya memperhatikan satu pihak saja. Seharusnya diperhatikan dua pihak yakni pihak orangtua dan sekolah/penyelenggara pelaksana pendidikan. Jelaslah para guru dan pihak sekolah kerepotan. Karena sarana yang diperlukan terbatas. Harusnya disiapkan pula semua yang diperlukan dalam metode pembelajaran, bukan hanya cukup dengan guru yang sudah divaksin saja. Apalagi belum bisa dibuktikan bisa menjamin sepenuhnya bahwa guru yang sudah melakukan vaksinasi kebal terhadap Covid-19.

0 Komentar