Oleh Shinta Dewi
Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah
Idul Fitri tahun ini tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Banyak kisah dan berita yang membuat greget untuk diungkapkan. Di samping kisah pilu dari korban terdampak virus, dimana yang menjadi korban bukan saja menimpa masyarakat biasa, pejabat publik juga tenaga kesehatan telah menorehkan kesan mendalam ganasnya Covid-19. Hal ini semakin membuat miris saat kebijakan dari pemangku kekuasaan terus berubah tanpa satu pun yang bisa meyakinkan wabah benar-benar bisa diatasi.
Larangan untuk mudik lebaran tahun 2021 telah diputuskan pemerintah, sejumlah kebijakan pun diambil termasuk adanya penyekatan di jalan-jalan dan perbatasan yang biasa dilalui oleh para pemudik. Seperti yang dihimbau oleh Wakil Bupati Bandung Sahrul Gunawan agar masyarakatnya tidak melakukan mudik, dan mengatakan agar mewaspadai terjadinya lonjakan kasus positif Covid-19 pasca Idul Fitri. Menurutnya minat warga untuk mudik masih dinilai tinggi. (Detiknews, Senin 3/5/2021)
Masyarakat bukan tidak tahu bahayanya virus ini, akan tetapi berbagai kebijakan yang diputuskan pemerintah terkesan tidak konsisten dan buruknya penanganan wabah yang berlarut-larut. Hal ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin berkurang karena pada faktanya di tengah larangan mudik pemerintah malah mengijinkan pekerja asing (WNA) masuk ke Indonesia.  Belum lagi kebijakan lainnya yang membingungkan rakyat adalah diperbolehkannya berwisata dan dianjurkannya berbelanja. Padahal kondisi ini tak jauh berbeda dengan kebijakan di atas, berkontribusi terjadinya kerumunan dan penularan. Bahkan, pengerahan aparat pun disinyalir menjadi upaya sia-sia.
Baca Juga:Makmurkah Masjid di Dekat Rumah Anda?Setelah Ramadhan ………..?
Fakta tersebut memang lazim terjadi pada negara yang menerapkan sistem kapitalis sekuler. Harapan sejahteranya rakyat serta terlindunginya rakyat seakan jauh panggang dari api. Penanganan pandemi yang berlarut-larut membuat interaksi dengan kerabat hanya bisa dijangkau secara virtual karena berbagai kebijakan yang berubah-ubah hingga muncul larangan mudik.
Mirisnya, larangan itu berlaku hanya bagi warga lokal, bukan warga luar. Alasannya pun membuat sesak dada. Karena sebab pekerjaan atau faktor lain yang bermotif ekonomi, sehingga mereka diterima masuk ke Indonesia dengan selembar surat ‘negatif Covid-19′. Akibat dari penerapan sistem ini, negara berperan sebagai regulator bagi kelompok tertentu dengan kapitalnya. Sementara rakyat tak berduit terpaksa mencari solusi sendiri demi melanjutkan hidup tanpa pelayanan dan juga perhatian maksimal negara. Padahal seharusnya negara menjadi institusi sentral melayani warga masyarakat sebagaimana dalam sistem pemerintahan Islam.