Selebihnya percakapan itu saya lupa. Yang jelas diskusi dari sisi komunikasi politik. Eep menarik untuk diteliti. Gesture dan komunikasinya unik. Setelah beberapa tahun menjadi bupati, Eep melepaskan hampir semua ‘protokoler’ kaku. Melepas baju safari, memakai baju pangsi (serba hitam), memakai iket, tidak lagi dikawal Patwal. Sering tiba-tiba muncul di desa, di rumah warga, bahkan menginap di mana saja dia mau. Bahkan ia tidak mau dipanggil bapak. Cukup memanggilnya Mang Eep.
Baru setelah ramai pencalonan Presiden Jokowi di tahun 2009 muncul istilah ‘blusukan’. Bahasa Jawa. Dulu di era orde baru hanya dikenal Turba. Turun ke bawah. Maklum, di rezim itu banyak bahasa serapan atau istilah ke-militer-an. Saya menyimpulkan: yang blusukan itu Eep dulu, Jokowi kemudian.
Tapi saat itu belum ramai media sosial seperti sekarang, seperti era Jokowi. Maka tidak ada aksi-aksi Eep yang viral. Bahkan media pun di Subang masih jarang. Saya pun saat itu masih mahasiswa. Kebetulan jadi Presiden BEM Universitas Subang pertama. Dilantik oleh Bupati Eep Hidayat tahun 2007. Yang datang memakai kaos merah, memakai iket. Pakai sandal gunung. Eep melawan segala formalitas. Out of the box!
Baca Juga:RUPSLB BRI: 96% Suara Setujui Penerbitan Sebanyak-banyaknya 28,67 Miliar Lembar Saham BaruBangun Jalan Usaha Tani dan Poros Desa
Lalu kita tahu, kiprah Eep sebagai bupati benar-benar kandas. Di tahun 2012 lalu. Di masa jabatan kedua. Kasus Sapi Gate sebelumnya dihentikan. Kini malah terjerat kasus upah pungut PBB. Saya menyaksikan Eep digelandang Kejaksaan Tinggi Jabar menjelang tengah malam. Saat itu, Eep keluar dari kaca mobil. Sempat berdiri dari jendela. Melambaikan tangan.
Saya balik lagi ke kantor redaksi. Membuat berita hot itu. Sayang, saat itu belum ‘musim’ media online. Pasundan Ekspres pun cetak dua kali. Hanya menerbitkan foto-foto penahanan Eep itu.
Warga yang menyaksikannya menyapa dengan campur aduk perasaan. Termasuk saya. Sebab sempat terjadi banyak drama menjelang penahanan Eep. Sebab tak hentinya Eep memberikan perlawanan sengit kepada penegak hukum. Melalui narasi di media massa. Melalui aksi massa berkali-kali.