Saya ditugaskan kantor meliput proses hukum Eep di Pengadilan Tipikor Bandung. Saya juga beberapa kali menemui JPU di Kejati Jabar. Setiap sidang, saya bolak-balik ke Bandung. Tidak ada yang terlewat. Tak terhitung pula berapa kali aksi unjuk rasa di depan PN Tipikor. Baik yang mendukung maupun yang kontra. Demo yang berjilid-jilid, seperti demo pendukung Habib Rizieq. Hehe.
Banyak pejabat Subang yang berdatangan. Menghadiri. Memberi dukungan diam-diam.
Rasanya ‘seru’ sekali. Banyak cerita yang bisa saya tulis. Berita tentang Eep hampir selalu headline. Pembaca antusias mengikuti. Saat memasuki bulan Ramadan pun saya tetap memacu motor meliput sidang tokoh unik ini.
Pernah suatu ketika, Eep menghadirkan saksi ahli dari Kementerian Dalam Negeri. Namanya masih saya ingat dengan baik Reydonizar Moenik. Kelak ia jadi juru bicara Kemendagri. Lalu menjadi Sekjen DPD RI sejak 2018.
Baca Juga:RUPSLB BRI: 96% Suara Setujui Penerbitan Sebanyak-banyaknya 28,67 Miliar Lembar Saham BaruBangun Jalan Usaha Tani dan Poros Desa
Pembelaan Reydo sangat kuat. Bahkan ia membuat presentrasi power point, pakai infocus. Semua menyaksikan. Sangat meyakinkan. Dasar hukum kuat. Saat itu saya yakin, Eep akan bebas. Kebijakan Eep banyak dilakukan pula oleh kepala daerah lain. Memang berbenturan Peraturan Menteri Kuangan (PMK). Tapi begitu banyak tafsir hukumnya. Itulah yang menjadi dasar Eep melawan habis-habisan.
Benar saja, tak lama kemudian hakim ketuk palu Eep bebas. Saya telpon JPU usai sidang vonis bebas. “Kami akan banding!” katanya setengah teriak di ujung telepon.
Lalu, drama ini makin panjang. JPU Kejati Jabar banding. Eep melawan. Bahkan menantang Presiden SBY berdebat. Di sampaikan di televisi. Anda tahu, ada pula drama teatrikal Eep menggigit sendal jepit di gerbang Mahkamah Agung. Fotonya bahkan dijadikan baligo. Pertama dalam sejarah di Jawa Barat. Mantan kepala daerah beraksi begitu. Lalu ia pun membuat lagu: Ampun Pamarentah!
Jika blusukannya banyak sama dengan Jokowi. Tapi aksi dan nyelenehnya Eep beda dengan Jokowi. Semua drama itu kuat di ingatan masyarakat. Blusukannya, iketnya, baju khas sundanya, hingga kasusnya, melekat di benak publik. Yang paling melekat di ingatan publik lagu Mang Eep Balad Uing. Anak-anak hingga kakek-kakek, hafal lagu itu. Kelak ‘diwariskan’ ke Ruhimat dengan nada yang sama: Kang Ruhimaat…telolet uing!