Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 58

Filsafat Pancasila sila keempat
0 Komentar

Memaknai sila keempat “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan”
Bagian ke 12

Demokrasi Limited

“Partai yang dicita-citakan sebagai alat untuk menyusun pendapat umum secara teratur, agar rakyat dapat bertanggung jawab sebagai pemangku negara dan anggota masyarakat, kenyataannya justru partai dijadikan tujuan dengan menggunakan negara sebagai alatnya. Sehingga orang masuk partai bukan karena keyakinan, melainkan karena ingin memperoleh jaminan.” Mohammad Hatta.
***
Kliping iklan sepatu Bally telah 30 tahun terselip di dompet Bung Hatta. Sepatu Bally buatan Swiss yang didirikan oleh Carl Franz Bally di Schönenwerd, Swiss pada tahun 1851 tersebut, diingini Bung Hatta sejak tahun 1950. Ketika itu, Bung Hatta menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, mendampingi Soekarno. Beliau berhasrat menggunakan jasa sepatu Bally sebagai alas kakinya. Bukan ajimumpung menggunakan jabatannya agar sepatu Bally (atau segala fasilitas kemewahan) merapat sebagai alas jasanya. Namun hingga wafatnya, keinginan tersebut tak tergapai. Karena uang tabungan Beliau tak pernah kuasa untuk menaklukkan harga sepatu Bally. Hingga hanya kliping iklannya yang mampu Beliau miliki dan simpan.
Tak beralas sepatu Bally tak membuat Bung Hatta surut memerjuangkan Indonesia yang berdaulat. Walau kemudian Beliau memilih berpisah di persimpangan jalan dengan Soekarno. Senin 23 Juli 1956, Ketua DPR Sartono kaget seperti disambar petir disiang bolong. Pasalanya dia menerima surat pengunduran diri Bung Hatta sebagai Wakil Presiden. Bung Hatta beralasan DPR dan dewan konstituante telah terbentuk, inilah saatnya dia mengundurkan diri. Dibalik itu, Bung Hatta melihat sistem parlementer yang diberlakukan, sudah menyimpang dari konstitusi.
Setelah lepas dari jabatan Wakil Presiden, Bung Hatta tak berdiam diri seperti Perkutut disemprot air. Bung Hatta memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi berlandaskan kedaulatan rakyat dan konstitusi. Salah satunya menulis buku “Demokrasi Kita”.
Demokrasi saat ini, jika merujuk bukunya Bung Hatta, Demokrasi Kita, seolah “kehilangan rupa”. Melihat perilaku demokrasi yang lebih mendorong semangat liberal dan oligarkhi (kekuasaan yang berpusat pada sekelompok) serta pluktorasi (kelompok pemodal yang menguasai politik). Perlemen diisi oleh banyak partai dengan membawa berbagai kepentingan. Si Bung menyebutnya avonturisme (petualang) dan anarkisme politik menjadi wajah demokrasi kita. Demokrasi hanya diartikan kebebasan berbicara di depan sorotan lampu kamera televisi. Selebihnya, adalah transaksi.

0 Komentar