PURWAKARTA-Sedikitnya 1.500 buruh Purwakarta dari berbagai elemen bertolak ke Jakarta, Rabu (8/12). Buruh yang sebelumnya berkumpul di beberapa titik kumpul tersebut berangkat ke Jakarta untuk mengikuti aksi unjuk rasa (unras) nasional. Sasarannya adalah Istana Negara, Gedung Mahkamah Konstitusi, serta Balai Kota Jakarta.
Presidium Aliansi Buruh Purwakarta Wahyu Hidayat menyebutkan, keikutsertaan buruh Purwakarta pada unras tersebut merupakan bukti dari komitmen dan upaya kaum buruh yang terus memperjuangkan UMK tahun 2022 melalui jalur litigasi maupun nonlitigasi.
“Dari FSPMI ada 770 anggota yang ikut ke Jakarta menggunakan 10 unit bus dan beberapa unit kendaraan roda empat. Sebelumnya, kami berkumpul di perempatan Vantec kawasan Kota Bukit Indah. Adapun titik keberangkatan lainnya adalah perempatan Sadang, Campaka, dan Jatiluhur,” kata Wahyu kepada Pasundan Ekspres.
Baca Juga:Wabup Tekankan ASN Jangan Ke Luar KotaLegislatif Dukung Pembangunan Sekolah Setiap Desa
Dijelaskannya, aksi unjuk rasa nasional dilakukan di seluruh Indonesia. Di Jakarta sendiri diperkirakan diikuti oleh 50 ribu hingga 100 ribu buruh dengan masa aksi dari Jabodetabek, Karawang dan Purwakarta. Adapun tuntutan unras tersebut ada tiga poin, yakni cabut Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja No. 11/2020 sesuai keputusan MK yang menyatakan inkonstitusional dan cacat formil.
“Kemudian, cabut PP No. 36/2021 tentang pengupahan, dan meminta gubernur wajib revisi kenaikan UMP dan UMK sesuai rekomendasi Bupati/Wali Kota sebelum 29 November 2021,” ujar Wahyu menjelaskan.
Menurut informasi, lanjut Wahyu, di Gedung Mahkamah Konstitusi nanti pihaknya akan diterima langsung oleh Ketua MK. “Mudah-mudahan kami mendapat penjelasan secara lebih gamblang perihal adanya multitafsir atas keputusan MK tentang Inkonstitusional Bersyarat UU 11/2020 Cipta Kerja,” ucapnya.
Khususnya, sambung Wahyu, yang berkaitan dengan kluster ketenagakerjaan sebagai hal strategis dan berdampak luas. “Semua rekomendasi bupati yang merupakan buah kesepakatan antara unsur pemerintah, unsur Apindo dan serikat pekerja dimentahkan gubernur. Gubernurnya takut diberi sanksi karena diancam hingga kehilangan jabatan,” kata Wahyu.
Sementara, kata Wahyu, walau tak ada di belahan dunia manapun, Menteri Dalam Negeri turut campur dalam memaksakan PP36/2021 sebagai dasar pengupahan. “Bahkan, Hakim MK belum selesai membacakan putusan, Menko Airlangga Hartanto membuat pernyataan kontroversial dengan penafsiran versi pemerintah yang menguatkan tetap berlakunya UU 11/2021 beserta turunannya,” ujarnya.