“Tetapi pendekatan whole society yang kami maksud adalah semua masyarakat, tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan, ras, disabilitas, status adat, warna kulit, agama, kemiskinan, status ekonomi, atau status pengungsi atau pengungsi,” tegas Youssefian.
“Dan dengan pendekatan whole government, kami maksudkan bahwa setiap sektor pemerintah harus terlibat dan memiliki rencana dengan spesifik bagaimana mereka ingin terlibat dan apa yang ingin mereka lakukan,” kata Youssefian.
Tujuh agenda Bali untuk resiliensi
Selama pertemuan, Indonesia telah mendorong peningkatan kerja sama internasional. Kolaborasi tersebut diharapkan berjalan berdasarkan prinsip penguatan budaya sadar bencana dan edukasi untuk pengurangan risiko.
Baca Juga:Tingkatkan SDM, Pemuda Muhammadiyah Subang dan Kemenakertrans Adakan Pelatihan Daur Ulang SampahSyafi’i Ma’Arif
GPDRR ke-7 ini mengangkat tema besar “From Risk to Resilience: Towards Sustainable Development for All in a COVID-19 Transformed World.” Sebagai tuan rumah, Indonesia mengusung tema “Memperkuat Kemitraan Menuju Resiliensi Berkelanjutan.”
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto, menyimpulkan pembahasan dalam rangkaian agenda tersebut.
“Presiden Indonesia sebagai tuan rumah mendorong masyarakat internasional untuk meningkatkan kerja sama dalam manajemen risiko bencana melalui kolaborasi berdasarkan prinsip-prinsip penguatan budaya sadar bencana dan edukasi untuk pengurangan risiko. Kedua, investasi pada sains teknologi,” kata Suharyanto saat upacara penutupan GPDRR di BNDCC, pada Jumat malam (27/5).
Platform Global ini merupakan seruan bagi negara-negara untuk mempercepat implementasi seluruh prioritas Kerangka Sendai guna menghentikan laju peningkatan dampak dan risiko bencana.
Suharyanto menambahkan, rekomendasi utama yang dihasilkan adalah penerapan pendekatan “Think Resilience” pada semua bentuk investasi dan pengambilan keputusan, mengintegrasikan kebijakan pengurangan risiko bencana melalui pendekatan Pentaheliks.
Adapun secara keseluruhan, GPDRR ke-7 ini berhasil merekomendasikan “Tujuh agenda Bali untuk resiliensi.”
Rekomendasi pertama, adalah pengurangan risiko bencana perlu diintegrasikan pada kebijakan-kebijakan utama pembangunan, pembiayaan, legislasi, dan rencana pencapaian pascaagenda 2030.
Kedua, perubahan sistemik yang dapat memperhitungkan kerugian yang sesungguhnya dari bencana dan kerugian dari ketiadaan aksi, serta membandingkannya dengan investasi. Dalam pengurangan risiko bencana.
Baca Juga:LA GALIGOHarga Bawang Merah Makin ‘Perih’, Naik Jadi Rp50.000 per Kilogram
Ketiga, platform global yang diselenggarakan antara COP 26 dan 27 beberapa waktu lalu, mencermati tingkat emisi saat ini jauh melebihi upaya mitigasi.