Whatsapp

Filsafat Pancasila sila keempat
0 Komentar

Pojokan 10

Lebih dari 100 group whatsapp (WA) ada dalam gadget saya. Namun hanya sepuluh (10) WA group (WAG), yang saya aktif. Itupun WAG yang berkaitan dengan pekerjaan. Selebihnya hanya membuka chatting, kemudian menghapus semua chatnya. Sebab jika tak dihapus, akan memenuhi memori dan membuat hang hand phone (HP) saya. Maklum, HP nya edisi “jadul” (jaman dulu), yang kadar memorinya terbatas. Entah dengan pembaca, mungkin lebih banyak WAG nya dan aktif sahut-menyahut komentar, seperti ombak di pantai yang tak putus.

Kebetulan saya hanya punya media sosial (medsos) WA. Tweeter, instagram, facebook, youtube dan model media sosial lainnya, saya tak punya. Saya ini keluaran produk jadul, jadi tak terlalu paham memanfaatkan berbagai medsos yang ada. Nama medsosnya saja, saya tak hapal semua. Medsos WA saja saya gunakan lebih karena urusan pekerjaan.

Dari sekian banyak group WA -ditemukan oleh Jan Koum sebelum diakuisisi CEO Facebook Mark Zuckerberg, kadang terselip berbagai postingan terusan mulai dari soal postingan selfi, jualan produk, hingga isu-isu yang dikatagorikan hoaxs. Hal itu memang sudah menjadi warna dan karakter group WA. Dan postingan tersebut langsung menjadi santapan bersama anggota WAG untuk dibahas, dikomentari, dicaci, didukung dan berbagai macam perdebatan lainnya. Respon di WAG, kadang membuat panas hati dan kepala. Untuk itulah saya menasehati diri sendiri, jangan “baperan” (bawa perasaan) kalau di medsos dan jangan banyak komentar kalau masih baperan. Sebab bisa jadi komentar kita “disamber” dengan komentar yang pedas dan tidak pantas oleh anggota group lain yang tak sependapat.

Baca Juga:Pemuda Minta Pelabuhan Patimban Pekerjakan Warga SekitarMUI: Hewan Gejala Penyakit Mulut dan Kuku Ringan Sah Dijadikan Kurban  

HP saya sengaja saya mode silent. Sebab bisa dibayangkan jika HP nya mode berdering, kiriman postingan dari 100 WAG akan bunyi terus setiap saat. Ditambah adiksi (ketergantungan) untuk melihat postingan atau kiriman pesan di WA. Saya hanya mampu bertahan kurang dari 15 menit, untuk tidak melihat pesan WA di HP. Semoga pembaca bisa lebih lama menahan godaan melihat medsos di HP.
Adiksi melihat pesan di WA, kadang mengganggu pekerjaan atau ketika sedang ngobrol dengan teman. Reflek dan tak terkendali, tangan dan mata selalu memegang HP dan kemudian membuka chat medsos. Itu selalu dilakukan. Fokus kepada pembicaraan dengan orang yang ada di depan kadang teralihkan dengan pesan yang masuk. Walau pesan yang masuk itu tidak penting-penting amat. Dan tetap saja, saya membalasnya dengan komentar yang tak penting jua.

0 Komentar