Wirama

Filsafat Pancasila sila keempat
0 Komentar

Pojokan 104

Untuk viral, sebagian orang (mulai anak-anak hingga dewasa) terbungkus polutan komoditi “pejuang konten”, menumpulkan nalarnya. Demi membela konten di media sosial (medsos) yang menahlikkan follower, bahayapun diterjang. Tak urung nyawa pun melayang. Ketumpulan nalar pun tertumbuk pandang pada perilaku membuang sampah sembarang. Tak hanya itu, kewelasasihan terhadap sesama makhluk pun mengambang.

Tak merasa salah! Pada kejumudan nalar itu. Sebab yang lain pun sama-sama ketul. Semua berkiblat pada eksisting di medsos. Tak peduli pada kemajalan nurani dan kesantunan. Pantas Microsoft dalam risetnya tahun 2020 menempatkan sikap kemajalan nurani dan kesantunan natizen Indonesia paling rendah di Asia Tenggara. Indonesia ada di urutan ke 29 negara dari 32 negara yang disurvei. Tak percaya? Silahkan lihat laporan Digital Civility Indeks yang dirilis Februari 2020 lalu. Brutal! Begitu media menyebut natizen Indonesia.

Jumlah Generasi Z atau yang lahir tahun 1997-2012 mencapai 74,93 juta atau 27, 94% dari populasi penduduk Indonesia. Disusul generasi milenial (lahir tahun 1981-1996) 69,38 juta (25,87%), Generasi X (lahir tahun 1965-1980) 58,65 juta (21,88%). Tak tahulah, apakah generasi Z sampai X itu termasuk yang majal nalarnya. Tapi yang pasti generasi tersebut bisa dipastikan mengenyam bangku sekolah.

Baca Juga:Jelang Pemilu, Ruhimat Fokus Ketertinggalan PembangunanRaih Empat Kali Berturut-turut, Bupati: Pertahankan Budaya WTP

Jika pun diantaranya majal nalar, apa yang diajarkan bangku sekolah kepada mereka? Atau justru adiksi membuat konten medsos yang lebih berpengaruh dari pada ajaran luhur para guru?

Praksis pendidikan seharusnya mampu melahirkan keadaban individu yang menjadi sumbangan pada keadaban publik. Praksis pendidikan yang melahirkan manusia Indonesia yang tahu kebaikan apa yang harus diperbuatnya untuk keadaban publik dan keadaban bangsa. Serta mampu menjawab tantangan global tanpa kehilangan jati diri. Dengan tetap memiliki pijakan nalar ketuhanan. Praksis pendidikan seharusnya melahirkan sifat Wirama. Sebuah sikap dan sifat tertib dalam laku hidupnya yang indah sehingga dapat memberi rasa senang dan bahagia.

Wirama itu tidak lepas dari kodrat alam seperti keteraturan alam, keindahan alam, sifat alami alam yang ritmik. Wirama akan membiasakan manusia menghargai harmomi dalam keragaman, Hal yang sangat dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman natural. Wirama itu ada dalam adat-istiadat, tata-krama, kebiasaan setiap etnis suku bangsa. Inilah model pedagogic membebaskan Ki Hajar Dewantoro, yang saat ini mulai hilang dari ruh pendidikan kita.

0 Komentar