Botol Kosong

Filsafat Pancasila sila keempat
0 Komentar

Pojokan 105

Di undakan teratas tempat duduk di sebuah ruang publik yang menjadi arena bermain warga, empat botol minuman kosong, termangu. Seolah mewakili ketakberartian kekosongannya. Habis manis, sepah pun dibuang. Juga serakan kulit kacang, atau bungkus makanan ringan yang terserak dimanapun. Bekas manusia yang berkelompok menyerakan sepah segala jenis ludah dan sisa ampas coffe saset. Juga residu kemanusiaan dan tumpul kepekaan. Ruang publik itu bagai tong sampah nan indah. Dengan berbagai pernik aksoseris untuk menggoda tangan, memijit tombol gadget. Berselfi ria untuk konten media sosial (medsos). Tak peduli dengan sepah-sepah sisa pengunjung. Walau tong sampah nan cantik siap menampung ampas.

Lalu, seekor biawak berukuran 80 cm dan berat sekitar 0,5 kg tersasar keluar got. Masuk ke area ruang publik itu. Ada sekelompok anak muda yang mengejarnya. Biawak itu berusaha melarikan diri. Nahas, dia tertangkap satu anak muda yang berhasil menangkap ekornya. Tak alang, anak muda tanggung itu menangkap dan membantingnya ke tembok. Berkali-kali dengan rasa geram. Diiringi seringai tawa. Juga derai tawa dan sorak sorai teman-temannya. Kemudian bangkainya dilempar begitu saja. Tak tahu kenapa, mereka tega melakukan itu. Remuk hati ini melihatnya, tak kuasa untuk menolong. Sebab terjadi begitu cepat dan jarak tak cukup untuk menghalang.

Ditempat lain, sekelompok anak muda tanggung, tentu dengan seragam sekolah, berebut melukai dengan segala benda, yang juga tajam. Arenanya adalah jalanan. Seolah sedang memainkan drama kolosal perang Bharatayudha. Tak peduli, nasehat ibu dan gurunya atau halauan orang. Seolah lawan adalah mangsa yang pantas untuk dimusnahkan. Tak peduli tak ada sebab, pun sekedar cuitan di media sosial atau saling pandang mata.

Baca Juga:Basuni: Partai Seharusnya Adu Gagasan Jelang Pemilu 2024Subang Investment Summit Promosikan Kemudahan Investasi

Hilangnya welas asih, ketumpulan nalar, dan nir tanggungjawab lahir dari bebalnya kepekaan nurani. Seolah tak salah dan wajar. Dimanapun dan siapapun, kadang terjangkit tumpul nalar dan kepekaan nurani. Pun elak dari tanggungjawab. Entah sebab apa. Lalu dimana awal mula nalar dan kepekaan itu tumpul sekaligus tumbuh?

0 Komentar