Rumah dan sekolahlah awal mula tumbuhnya nalar dan kepekaan nurani. Di dua tempat itulah semestinya minimal empat kepekaan dan nalar tumbuh subur. Kepekaan spiritual, sosial, kebangsaan dan lingkungan yang tumbuh bersama dalam satu tarikan nafas. Satu tarikan nafas yang dalam bahasa agama berbuah akhlak. Akhlak yang melahirkan keadaban individu dan menyumbang keadaban publik. Rumah adalah awal mula jati diri seorang anak memiliki warna dari orang tuanya. Sekolah adalah miniatur masyarakat, sekaligus tempat pembentukan karakter anak bangsa yang akan menjadi pelaku budaya masa depan. Sekolah menjadi tempat strategis dalam mengintervensi dan mengasah ketajaman empat kepekaan.
Ruang kelas yang menjadi ruang sosial dan otonomi para guru. Lingkungan sekolah adalah ruang publik yang menjadi bagian penting untuk merekayasa sosial kepekaan nurani dan nalar siswa. Juga tumbuhnya tanggungjawab. Kolaborasi dua ruang otonom, school dan class room culture ini, menjadi kunci dalam memupuk empat kepekaan dan nalar kritis siswa.
Nalar kritis siswa akan bekerja, manakala didorong untuk menemukan kegelisahan ketika melihat berseraknya sampah atau perilaku buang sampah sembarangan. Kegelisahan yang lahir dari kepekaan sosial dan lingkungan yang mendorong lahirnya nalar kritis atas dampak kerugian yang bisa terjadi. Juga gelisah ketika ketaksantunan atau ketumpulan nurani terhadap sesama makhluk bertumbuk pandang.
Baca Juga:Basuni: Partai Seharusnya Adu Gagasan Jelang Pemilu 2024Subang Investment Summit Promosikan Kemudahan Investasi
Kegelisahan yang dilahirkan dari kepekaan itu mendapatkan tantangan dari kemajalan sikap permisif dan masa bodoh. “Bukan urusan gue” atau “emang gue pikirin” atau “malas tahu” menjadi kata “sakti” tumpulnya nalar dan kepekaan. Adiksi media sosial yang mendakukan viral dan konten, melemahkan ketajaman nurani dan akal.
Kemajalan nalar dan kepekaan musti dilawan dengan upaya menumbuhkan kegelisahan yang lahir dari ketajaman nalar. Ketajaman nalar dan nurani lahir dari rekayasa sosial di sekolah. Diperkuat pola asuh (parenting) di rumah. Namun ada tembok besar, ada sebagian laku individu dan kelompok di ruang publik yang menumpulkan nurani. Menjadikan split personality jiwa anak-anak, melihat tontonan tak beradab di ruang publik dan media sosial. Dan justru itu, yang menjadi perekayasa laku sosial lebih manjur dibanding sekolah dan rumah. (*)