YANG menaikkan harga BBM Sabtu lalu mungkin menyesal: mengapa tidak dulu-dulu. Enam bulan lalu, misalnya. Atau lebih awal lagi. Toh risiko sosialnya ternyata kurang lebih sama: ribut.
Kenaikan harga BBM memang ibarat momentum untuk hidup baru. Normal baru. Begitu diputuskan, banyak perhitungan harus dilakukan. Normal baru pun harus kita masuki ketika normal baru yang lama belum sepenuhnya normal.
Dan yang seperti itu sudah terjadi berkali-kali. Dulu maupun kini. Hanya yang sekarang beda: Pandemi Covid-19 belum sepenuhnya berlalu. Anda masih rajin pakai masker. Masker itulah yang mengingatkan Anda: “semenderita-menderita akibat kenaikan harga BBM masih lebih menderita terkena Covid”. Asal Anda tidak membandingkan dengan ini: sudah terkena Covid terkena kenaikan harga BBM pula.
Baca Juga:Pahala Istri Mencium Tangan Suami Lengkap Maknanya Menurut Islam, Moms Wajib Tahu!Tenang Moms! Begini Cara Mengatasi Bayi Berkeringat Saat Tidur dan Menyusu
Tapi mengalami penderitaan yang berat kadang positif juga: penderitaan apa pun setelah itu terasa lebih ringan.
Move on.
Kurnia pun move on: Kurnia Lesani Adnan.
Ia pemilik perusahaan bus Siliwangi Antar Nusa (SAN).
Dua tahun ia dipukul Covid-19. Kini ia dihantam lagi kenaikan harga BBM. Tidak baru. Ia sudah mengalami krisis berkali-kali dalam hidupnya. Selalu saja Kurnia mendapat karunia: bertahan sampai sekarang.
Ia sudah tidak bisa menghitung berapa banyak peristiwa kenaikan harga BBM sepanjang perjalanannya sebagai pengusaha bus.
Pukulan terbesar yang pernah ia alami justru bukan oleh Covid atau kenaikan harga BBM. “Yang berat itu perubahan gaya hidup masyarakat,” ujarnya. Hampir saja itu mematikan bisnisnya. Juga bisnis teman-temannya. “Masyarakat tidak mau lagi naik bus yang asal-asalan,” ujar Kurnia.
Memang konsumen bus adalah orang berpenghasilan rendah. Tapi selera orang miskin pun kini sudah berubah. Kurnia segera menyadari itu. Ia ikut berubah. Bus-bus lama ia jual. Ganti bus baru. Dengan merek yang bergengsi. Agar lebih nyaman. Dengan jumlah kursi yang dikurangi. Dengan layanan yang berbeda. “Sekarang saya hanya bergerak di angkutan bus premium,” ujar Kurnia.
Bahkan Kurnia melangkah lebih jauh. Ia tidak akan mengejar status sebagai pemilik bus terbanyak. Kian banyak memiliki bus belum tentu kian sukses. Punya lebih banyak bus bukan berarti kian banyak dapat laba. Zaman berubah. “Bus saya kini tinggal 85 buah. Tapi semua premium,” ujarnya.