Refleksi Jati Diri TNI Sebagai Bhayangkari Negara dan Bangsa

Refleksi Jati Diri TNI Sebagai Bhayangkari Negara dan Bangsa
0 Komentar

Oleh:      M. Lukmantias A SH MH

Letnan Kolonel CHK (Purn)

“Tak ada yang lebih kuat dari kelembutan, tak ada yang lebih lembut dari kekuatan yang tenang”

Pesan Panglima Besar Jenderal Sudirman

Tanggal 5 Oktober 2022, TNI genap berusia 77 tahun. Hari ulang tahun seringkali diiringi ucapan selamat, doa, dan harapan yang dipanjatkan yang membuat keluarga besar TNI bahagia. Selayaknya hari ulang tahun menjadi momentum untuk merefleksikan kesyukuran, merenungkan kembali apa yang sudah dibaktikan TNI kepada Ibu Pertiwi, meningkatkan kecintaan bagi keluarga besar TNI pada jati diri TNI sebagai prajurit rakyat, prajurit pejuang, prajurit nasional dan prajurit profesional, serta meningkatkan semangat berbagi kepada sesama dan sebagai time lapse atas segala prestasi maupun kekurangan dari TNI yang terjadi pada tahun terakhir.

Kita mencatat di tahun 2022 ini, berbagai prestasi diraih oleh TNI secara organisasi, seperti kerjasama internasional TNI dengan Angkatan Bersenjata asing di bidang latihan, pendidikan, operasi dan teknologi ALUTSISTA yang semakin baik, program ketahanan pangan nasional, TNI Manunggal Membangun Desa, serta prestasi lainnya. Namun di sisi lain, publik juga mencatat bahwa masih terjadi peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh oknum-oknum yang secara parsial kontraproduktif terhadap komitmen terwujudnya jati diri TNI sejati.

Baca Juga:Dua Penemuan Kerangka Manusia di Subang Belum TerungkapBio Farma Teken Kerjasama dengan ProFactor Pharma Inggris

Selain itu, dinamika kehidupan politik memberi pengaruh signifikan pada penyelenggaraan pembinaan dan penggunaan kekuatan TNI di masa damai ini. Peran strategis Panglima TNI sebagai Pembina sekaligus Pengguna kekuatan TNI serta Kepala Staf Angkatan selaku Pembina kekuatan masing-masing matra, sempat terpolarisasi oleh kepentingan elite politik. Reaksi keras pun bermunculan, dari tataran prajurit hingga unsur pimpinannya, karena bahasa yang digunakan elite tersebut telah merendahkan TNI secara institusional.

Persoalannya apakah pernyataan yang merendahkan tersebut harus disikapi dengan perlawanan atau sikap keras dan sumpah serapah?

Berbagai perilaku kekerasan yang dilakukan oleh oknum TNI, sepertinya sedang mengalami eskalasi, secara kasat mata terjadi kasus percobaan pembunuhan istri oknum TNI sendiri dengan menggunakan pembunuh bayaran di Semarang, tuduhan melakukan mutilasi ketika melaksanakan operasi di Papua, oknum TNI yang diduga menganiaya seorang Advokat perempuan di Cianjur, terjadinya beberapa kali bentrokan fisik antara aparat TNI di Papua Ambon, Batam, Sinjai, dan Palangkaraya, tindakan asusila terhadap anak di bawah umur di Tarakan, dan yang terakhir adalah tindak kekerasan oknum TNI di stadion Kanjuruhan Malang.

0 Komentar