Pojokan 120
Mas Jum, begitu panggilannya. Jumadi adalah salah satu pramusaji Badan Pembinaan Ideologi Pancasil (BPIP) yang bertugas di Gedung Setwapres. Dia begitu bersahaja. Empat putranya. Beberapa diantaranya sedang menempuh Pendidikan di pesantren. Nyantri. Pendapatannya ya, UMR-lah (Upah Minimum Regional). Kurang dari Rp 4 (empat) juta per bulan. Dengan berbagai kebutuhan yang tentu bisa dibilang melebihi pendapatan, Mas Jumadi, menjalani hidup dengan sumeleh. Sebuah sikap yang sederhana dan memasrahkan kepada Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Tak neko-neko dan mengembalikan segala sesuatunya kepada Gusti yang murbeng alam.
Pendidikan formalnya tak sementereng para pejabat. Biasa saja, tamatan SMA dan lulusan ngaji di langgar (musala) di kampungnya sendiri. Setiap hari, Mas Jum bersama temannya bekerja melayani berbagai kebutuhan para pegawai di lingkungan BPIP. Khususnya yang ada di Gedung Setwapres. Kebersahajaannya, keramahannya dan selalu siap membantu semua orang, menjadikan Mas Jum, disenangi semua.
Menariknya, Mas Jum pun pernah menggantikan khatib shalat Jumat di salah satu masjid komplek BPIP. Kebetulan khatibnya tidak hadir. Pengurus masjid, kebingungan. Mas Jum menawarkan diri. Saya yakin, Mas Jum menawarkan diri bukan karena perasaan sombong, dirinya bisa. Namun lebih karena menolong pengurus dan jamaah yang sudah lama menunggu shalat Jumat di mulai. Mencari solusi, itu yang menjadi dasar dari penawaran diri Mas Jum menjadi khatib.
Sikap sumeleh inilah yang saya lihat dari Mas Jum. Sikap yang tidak mudah dalam mempraktikkannya. Umumnya manusia selalu dipenuhi dengan keinginan. Bahkan ambisi. Dan selalu merasa kurang, tak merasa cukup. Dalam konteks keinginan, sebenarnya wajar dan harus. Sebab bagi kita manusia biasa, keinginan menjadi motivasi untuk berusaha dan bekerja keras. Tanpa keinginan, manusia tak akan maju dan tak beda dengan mahkluk lain. Hidup hanya bisnis an usual, rutinitas tanpa makna.
Baca Juga:Daftar Rumah Sakit di Subang Beserta AlamatnyaKedai Mr. Baim Sajikan Menu Hidangan Asia
Dalam mengejar keinginan, bisa dipastikan orang akan berusaha semaksimal mungkin. Tentu dengan cara yang baik dan benar, tak melanggar aturan atau bahkan nambrak aturan. Tak sampai menyakiti atau berdampak negative terhadap orang/mahkluk lainnya. Selama (keinginan) itu, dilakukan dalam koridor usaha maksimal dengan cara yang baik dan benar, disertai doa sebagai bukti ketakaberdayaan akan hasil yang akan diperoleh, maka hal tersebut sah-sah saja. Agama menyebutnya tawakal.