Nah, sikap sumelehnya Mas Jum itu lebih dari itu. Sikap memasrahkan, menyerahkan diri dan keinginan kepada Hyang Widi (al-Ahad). Sudah! Lepas! tidak mikirin lagi apa yang menjadi keinginannya. “Monggo kerso Gusti Allah”, begitu katanya.
Harapan akan keberhasilan keingian yang bercampur dengan ketakutan tak tercapainya keinginan, menjadi motivasi bagi kita untuk memuwujudkan keinginan. Bahkan dengan cara apapun. Tak peduli dengan yang lain, yang penting keinginan bisa tercapai. Harapan dan ketakutan pada keinginan melahirkan energi yang membuncah menjadi upaya dan kreativitas. Jumlah energi yang besar dari harapan dan ketakutan itu bermetamorfosis menjadi ambisi. Energi yang dikelola dengan baik dari harapan dan ketakutan melahirkan keuletan dan kesabaran tanpa merugikan atau menyakiti sesiapapun.
Sumeleh menjadi penawar dari ambisi dan ketakutan kita akan tak tercapainya keinginan. Sumeleh tak mengabaikan usaha, upaya dan doa. Sumeleh adalah sikap untuk melepaskan diri dari beban harapan akan terwujudnya keinginan. Pun menanggalkan beban ketakutan akan tak terwujudnya keinginan. Seperti seorang bayi yang tak berdaya ditangan ibunya. Semua bergantung ibunya. Dan kita pasti yakin dan percaya serta sepakat, pasti ibunya akan menyayangi sepenuh hati, memenuhi kebutuhan hidupnya dengan maksimal. Demi harapan agar si bayi tumbuh sehat dan kuat. Agar hilang ketakutan akan hal yang negative atas diri si bayi. Bayi tak pernah berpikir untuk harapan dan ketakutan akan hidupnya. Dia tak berdaya, namun memberdayakan orang tuanya. Dia hidup dari kasih sayang tulus orang tuanya.
Sumeleh itu, kira-kira seperti itu.
Baca Juga:Daftar Rumah Sakit di Subang Beserta AlamatnyaKedai Mr. Baim Sajikan Menu Hidangan Asia
Menyerahkan, memasrahkan, mengembalikan segala apa yang menjadi keingingin kepada Gusti Allah. Indikator sumeleh adalah, ketika kita “biasa-biasa” saja dengan apapun hasilnya. “nothing to lose”, begitu kata orang sekarang. Tidak terbebani dengan ketakutan kepada orang, keinginan dan segala hal yang membuat hati menjadi tersiksa. Terbebas dari keterpautan hati, nafsu untuk keharusan terwujudnya keinginan. Tersiksa karena harapan dan ketakutan. Ketakutan akan harapan yang tak terkabul, itu siksaan. Entah kapan, hati ini bisa sumeleh. “Karep Gusti Allah saja lah”. Yang pasti, wajib hukumnya berusaha semaksimal mungkin. Bukan langsung sumeleh.(*)