Dalam penelitiannya, ia mengungkapkan ada delapan alasan mengapa perempuan cenderung bertahan dalam hubungan abusive. Diantaranya adalah keinginan untuk menjadi penyelamat, mempertahankan harga diri, anak-anak, pikiran yang terdistorsi, isolasi, pengalaman keluarga, ketakutan, dan kendala keuangan.
Saya jadi teringat sebuah film Bollywood yang dirilis Netflix baru-baru ini. Tayang pada bulan 5 Agustus 2022. lalu Berjudul Darling. Film yang banyak menuai kritik karena berani mengangkat cerita KDRT dari perspektif korban (perempuan). Dibintangi oleh Alia Bhatt serta disutradarai oleh sutradara perempuan, Jasmeet K. Reen.
Di salah satu adegan film tersebut, Shamshu, pelaku KDRT, membela dirinya di depan polisi tentang alasannya menjadi kasar ketika mabuk alkohol. Ironinya lagi, polisi yang sedang bersamanya memberikan jawaban tanpa empati. “Semua ini terjadi karena perempuan yang membiarkan mereka (laki-laki)”.
Baca Juga:Paripurna Interpelasi APBD 2022 Gagal, Ini Pernyataan Ketua Golkar Elita BudiartiDirektur RSUD Kanjuruhan Ungkap Tiga Penyebab Kematian 130 Suporter
Adegan ini memperlihatkan bagaimana masyarakat kita memiliki tendensi untuk menyalahkan perempuan korban setiap ada kekerasan yang terjadi. Hal pertama yang dilakukan banyak orang adalah menyalahkan dan menghakimi korban.
Lesti Berani Keluar dari Lingkaran Kekerasan
Dalam banyak kasus KDRT, sering kali perempuan korban berakhir tetap terperangkap relasi abusive yang menjeratnya. Belum lagi dengan pembiaran dan budaya victim blaming yang membuat korban semakin kesulitan mengakses pertolongan atau keadilan.
Di tengah keputusasaan perempuan korban yang serasa tak punya harapan, maka melalui Lesti semestinya kita semua belajar mengenai alternatif realitas perempuan korban KDRT. Saya pribadi berharap Lesti tidak tiba-tiba mencabut laporan tersbut hanya karena alasan cinta.
Kasus KDRT yang dialami Lesti Kejora sebenarnya cukup banyak. Hanya saja hal ini masih menjadi fenomena gunung es yang hanya nampak di permukaan. Korban juga bisa dari pihak laki-laki. Meski dalam budaya patriarki, perempuan lebih rentan menjadi korban.
Padahal, amat penting bagi para korban menyadari bahwa KDRT tidak sekadar kekerasan yang melibatkan pemukulan atau kekerasan fisik lainnya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga jelas menuliskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terdiri atas kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.