KDRT Bukan Lagi Ranah Pribadi
Di Indonesia sendiri, tak banyak yang mampu membedakan KDRT dengan perilaku mendidik atau meluruskan masalah. Masyarakat harus memahami bahwa segala bentuk tindak kekerasan, meskipun ia bersumber dari perkara pribadi awalnya, adalah hal yang dengan sendirinya harus terlepas dari perkara pribadi.
Berbeda dengan cekcok biasa di keluarga yang tidak ada korban setelahnya, namun justru membuahkan jalan keluar dari masalah itu.
Dalam hal ini, unsur penegakan keadilan terdekat dan tercepat ketika KDRT terjadi adalah masyarakat sekitar. Di titik inilah masyarakat harus memahami bahwa mereka adalah penentu dihentikan atau tidak dihentikannya sumber trauma bagi salah seorang warganya.
Pentingnya Membangun Kesadaran Kolektif
Baca Juga:Paripurna Interpelasi APBD 2022 Gagal, Ini Pernyataan Ketua Golkar Elita BudiartiDirektur RSUD Kanjuruhan Ungkap Tiga Penyebab Kematian 130 Suporter
Faktanya korban KDRT jarang mendapatkan support system yang bagus dari keluarga mereka sendiri. Tidak jarang bahkan orang tua yang membuat anak mereka tetap bertahan dalam perkawinan yang penuh kekerasan. Alasannya sangat klise, karena pernikahan harusnya dipertahankan.
Lucu rasanya jika kita juga berdalih tidak ingin ikut campur terhadap urusan rumah tangga orang lain. Padahal jelas-jelas kita mengetahui telah terjadi tindakan KDRT didalamnya.
Bagaimana bisa kita mengatakan tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain, sedangkan di lain kesempatan kita selalu cerewet saat mendesak sebuah keluarga untuk segera memiliki anak, memiliki uang banyak, melaporkan jika salah satu dari mereka melakukan perselingkuhan, bahkan berani mempersekusi satu keluarga jika mereka beribadah dengan cara yang berbeda dengan mayoritas masyarakat sekitar? Dengan kenyataan demikian, dalih tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga orang lain bukan lah alasannya.
Namun sayangnya kesadaran kolektif telah dikubur dalam-dalam oleh masyarakat patriarki. Lewat norma agama, norma sosial, hingga didikan keluarga. Budaya ini membuat perempuan maupun laki-laki korban kekerasan lupa, bahwa padanya melekat seluruh hak asasi dan kehormatan serta daya juang.(*)
Penulis adalah Co-Founder Narasi Perempuan