Watak dari system kapitalis ini umumnya tidak mempedulikan harmonisasi produksi dengan keseimbangan alam dan kehidupan manusia namun dikapitalisasi sebagai penguasa dan pemilik dari sumber daya alam. Prinsip dari sistem ini hanya peduli untuk menghasilkan nilai tukar yang maksimal dari setiap biaya yang dikeluarkan. Prioritasnya adalah untuk menekan biaya produksi serendah mungkin daripada melestarikan keseimbangan ekologis yang biayanya cukup mahal. (Lailiy Muthmainnah, 2020).
Beberapa orang berpandangan bahwa antroposentris dan kapitalisasi ini adalah biangkerok terjadinya kerusakan lingkungan, karena pandangannya yang mempunyai keyakinan bahwa manusia adalah pusat dunia dan mempunyai kuasa atas dunia dengan dibantu oleh sistem kepemilikan dan teknologi manusia mempunyai kemampuan untuk mengeksplotasi, akhirnya manusia berkeyakinan sebagai sang penentu realitas. dan disadari atau tidak, realitas yang dibuat itu telah merusak keseimbangan alam. Kerusakan lingkungan ini pun diperparah lagi dengan adanya praktek konsumerisme.
Budaya Konsumerisme
Konsumerisme merupakan suatu tatanan ekonomi dan sosial yang mendorong agar masyakat membeli barang dan jasa tanpa pertimbangan kebutuhan. Konsumerisme ditandai dengan adanya pergeseran makna orientasi konsumsi manusia yang semula bertujuan untuk bertahan hidup (Survive) dan kebutuhan menuju kearah pemuasan hasrat (Desire) dan gaya hidup (Lifestyle). Menurut Baudrillard konsumsi produk barang dan jasa ditentukan oleh seperangkat hasrat untuk memperoleh penghormatan, status, prestise, dan konstruksi identitas melalui suatu “mekanisme penandaan” (Indra Setia Bakti, Desember 2019). Individu memaknai semakin pentingnya aktivitas konsumsi baik dalam pengalaman personal maupun pergaulan sosial.
Baca Juga:10 Orang dari 56 Pelamar JPT Pratama Tidak Memenuhi SyaratProgres Bendungan Sadawarna 97,2 Persen, Pengamanan Kunjungan Presiden Disiapkan
Dalam budaya konsumen nilai simbolik dalam sebuah komoditas lebih penting dibandingkan nilai guna dan hal inilah yang disebut oleh Baudrillard sebagai dunia simulasi dimana citra visual dianggap lebih penting daripada kenyataan itu sendiri. Dunia simulasi mampu mendominasi konsumen. Simulacra menghipnotis konsumen untuk ikut membangun dan mengekspresikan identitasnya yang keren dengan mengonsumsi beragam komoditas yang ditawarkan. Cakupannya sangat luas dan menyebar dalam kehidupan sehari-hari yang disuguhkan melalui media televisi, internet, majalah, komik, atau film yang membantu “menyimulasikan” kenyataan dan pada akhirnya menjadi kenyataan itu sendiri (Agger, 2009: 285). Atribut iklan juga memenuhi setiap sudut kota, terkadang terlihat seperti “sampah” namun memiliki nilai “artistik” yang memanjakan mata konsumen. Iklan sudah menjadi bagian hidup masyarakat dan merupakan dunia simulasi yang sangat efektif menggalakkan konsumsi terutama bila dihadapkan dengan konsumen yang tidak sadar, tidak terorganisir, dan cenderung soliter.