Disruptif Digital di Ujung Pemilu

Disruptif Digital
0 Komentar

Pengguna media sosial menurut Indonesia baik sebanyak 93.5 % usia 20-29 tahun. Usia 20-29 tahun merupakan muda dan usia produktif. Menurut Tara de Thoars usia 20-29 tahun merupakan usia dengan produktifitass yang tinggi. Pada usia tersebut merupakan masa ekplorasi dan adaptasi dengan hidup baru, dengan ambisi yang besar dan pembuktian. Usia yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan bangsa.

Sementara itu, media sosial Youtube, Facebook, Instagram, TikTok, dan Twitter berfungsi sebagai alat interaksi, komunikasi, transfer pengetahuan.  Interaksi, komunikasi dan transfer pengetahuan menjadi sangat efektif dan praktis,  bahkan terdapat istilah bahwa media sosial ini “ mendekatkan yang jauh, dan lebih kontradiksi menjauhkan yang dekat”.  Namun media sosial juga berdampak disruptif.

Disruptif digital  yang berkaitan dengan pola perilaku dalam interaksi memunculkan netizen lover, netizen hater, bahkan mungkin muncul netizen-netizen yang memunculkan berita hoax. Berita hoax adalah berita bohong. Berita hoax meliputi parodi, konten menyesatkan, konten tiruan, konten palsu, koneksi yang salah, konteks keliru, konten manipulasi. Berita hoax yang dibuat bertujuan  membuat dan menyampaikan informasi yang dibuat-buat atau direkayasa untuk menutupi informasi yang sebenarnya. Hoax diartikan sebagai upaya pemutarbalikan fakta menggunakan informasi yang seolah-olah meyakinkan akan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

Baca Juga:Gus Ahad Beri Solusi Pengelolaan Masjid Al-JabbarDPD PAN Klaim Terapkan Kolektif Kolegia

Masa mendekati Pemilu tahun 2024 pemberitaan-pemberitaan hoax mulai muncul dengan gencar.  Pemberitaan tentang tokoh-tokoh  mulai beredar. Para netizen lover terhadap seorang tokoh memulai mempropagandakan tokoh idolanya. Para netizen hater mulai meracuni masyarakat dengan kebencian-kebencian pada tokoh-tokoh tertentu. Kekuatan media social yang benar-benar disrupsif.

Sementara itu, tidak banyak para netizen yang peduli terhadap berita hoax. Masyarakat hanya menikmati berita yang muncul di media social. Semakin sering berita tersebut muncul maka diyakini sebagai berita yang benar.  Semakin sering berita muncul maka pesan akan ssemakin kuat bercokol pada ingatan. Semakin sering berita salah muncul akan semakin meracuni cara berpikir masyarakat. Cara berpikir salah dapat membahayakan. Bahayanya adalah melalui pola pikir yang salah, maka akan membangun sebuah keputusan yang salah, cara berpola perilaku yang salah, cara bertindak salah. Cara bertindak yang salah akan menyebabkan kondisi yang chaos.

0 Komentar