Pojokan 134, Rumah
Apakah saya terikat pada rumah itu? Mungkin terikat pada kenangannya. Kenangan pada setiap ruangan dan setiap lekuk dari tubuh rumah itu.
Bahkan pada gompelan temboknya yang mengelupas.
Seperti pada jeruji besi di jendela di bagian tengah. Yang dulu menjadi pintu kedua untuk keluar masuk aku dan adik-adikku, ketika bermain.
Sementara di salah satu jendela besar dari kayu di bagian ruang tamu, saya duduk di teras jendela sambil melihat lalu lalang orang di jalan.
Baca Juga:Danone-AQUA Mengembangkan Kopi Konservasi di Cupunagara, Subang: Menanam Kopi, Merawat BumiSurvey Online Dibayar, Hasilkan Uang dari Internet 50 ribu Sekali Survei, Masuk Paypal atau Voucher, Klik di Sini
Rumah kami bersisian dengan jalan desa. Antara rumah kami yang menghadap ke Utara sekitar 10meter dengan jalan desa, disela kebun singkong dan pohon mangga kopek. Juga rerumputan.
Lalu lalang gerobak kerbau yang membawa bambu atau segala hasil bumi, menjadi pemandangan utama dari jendela rumah.
Saya sering bergelantungan di kayu bagian belakang yang digunakan gerobak sebagai sandaran penopang, jika berhenti.
Atau ikut naik di tempat kusir gerobak, yang nyaman dengan tumpukan jerami dan sedikit sisa tebu. Percis berhadapan dengan pantat kerbau.
Menikmati bunyi kerincing kalung kelontong yang dipasang di leher kerbau, menjadi klangenan tersendiri.
Penghuni jalan lainnya adalah delman yang membawa penumpang dengan kusirnya Mang Dama. Juga ibu-ibu dan bapak-bapak berjalan beriringan ketika berangkat dan pulang sehabis bekerja di sawahnya.
Ada juga Ma Jenah, seorang janda tua bungkuk yang pergi pulang belanja ke pasar jalan kaki. Ma Jenah jualan soun dan opak serta gorengan lainnya di sekolah (SD, sekolah dasar) kami.
Baca Juga:Pengumuman PPPK Administrasi 2023, Cek di Link Ini, Sudah Ada Nama Kamu?Download Minecraft Versi Terbaru, 1.20 Pocket Edition Update Januari 2023, Klik Link Gratis di Sini!
Jarak dari desa kami ke pasar sekitar 10 kilo meter, Ma Jenah di usia tua dan bungkuknya, berjalan setiap hari. Kadang saya membantu Ma Jenah membawakan barang belanjaannya.
Dan ketika di sekolah, Ma Jenah memberi jajan gratis.
Salah satu pengguna tetap dari jalan adalah ayah saya, yang mengayuh sepeda atau jalan kaki sepulang dari balai desa. Ayahku seorang petani dan juga kepala desa.
Zaman itu, kepala desa tak dapat honor, hanya bengkok tanah selama menjabat. Lekuk yang paling ku ingat lainnya dari rumah kami adalah kamar-kamar yang ditempat bersama oleh ibuku dan semua saudaraku.