Pemda Anggarkan Rp1,2 Miliar
SUBANG-Sebanyak 479 balita di Subang menderita gizi buruk. Mereka tersebar di berbagai daerah. Gizi buruk ini menjadi satu hal yang ditakutkan oleh orang tua.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Subang dr Ira Lindayanti mengatakan, kasus gizi buruk di Subang mayoritas disebabkan oleh perilaku orang tua yang tidak bisa mengawasi, memberi gizi yang baik teradap anaknya.
Menurutnya, ketidaktahuan orang tua terhadap asupan gizi anak-anaknya menjadi hal yang klasik dan sangat mendominasi temuan kasus tersebut.
Baca Juga:Polsek Lembang Sambangi Warga untuk Jaga KamtibmasSengketa Lahan, Pedagang Pasar Panorama Tak Ambil Pusing
Dia menuturkan, pola asuh yang baik pun sering diabaikan. Mulai dari anak diasuh oleh orang lain, atau keluarga, sehingga asupan gizi tidak dapat terserap dengan baik dan mengakibatkan anak kekurangan gizi.
“Orang tuanya bekerja, anak diasuh oleh keluarga atau orang lain, mereka belum tentu tau tentang asupan gizi yang baik,” ungkapnya kepada Pasundan Ekspres.
Ira menyampaikan, di tahun 2023 ini Pemerintah Daerah Kabupaten Subang sudah menganggarkan Rp1,2 miliar untuk pemberian makanan tambahan (PMT) guna pemulihan balita yang menderita gizi buruk.
“Pemerintah Daerah Kabupaten Subang sedang konsentrasi terhadap penanganan gizi buruk, hal tersebut dibuktikan dengan selalu adanya anggaran PMT tiap tahunnya,” jelasnya.
Dia menuturkan, tenaga kesehatan dan kader pun sudah banyak yang terorientasi sebagai konselor Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA). Hal itu adalah untuk meluruskan cara pandang orang tua yang menganggap penyiapan makanan untuk anak harus secara khusus dan mengetahui jumlah, jenis, dan frekuensi pemberian makanan yang tepat pada balita.
Ira menyebut, dalam penanganan gizi buruk bukan tidak ada kendala. Permasalahan sistem pun menjadi salah satu faktornya seperti data sasaran gizi buruk yang belum 100 persen terentri, tidak semua puskemas bisa melakukan peginputan data, penimbangan pada aplikasi sehingga kurang terpatau, faktor determinan yang tidak diperhatikan baik oleh tenaga kesehatan atau kader.
Sehingga ketika ada kasus mereka selalu berfikir intervensi yang harus diberikan adalah asupan gizi dan susahnya birokrasi bila ada balita yang mengalami gizi buruk yang harus mendapatkan perawatan.