Catatan Lukman Enha
SAYA bergidik melihat foto-foto pembantaian itu. Pelan tapi pasti, sang guru menceritakan peristiwa yang mengoyak Indonesia. Ya, itu foto-foto pembunuhan, pembantaian mengerikan di konflik Poso antara 1998-2000. Dibahas dalam kelas Jurnalistik.
Saya begitu menyimak penjelasan guru. Katanya, itu foto-foto mengerikan yang tidak layak tayang di media. Sebab, bisa membuat yang melihatnya jijik, ngeri, mual. Melanggar kode etik jurnalistik.
Guru Jurnalistik menceritakan konflik bernuansa agama antara masyarakat muslim dan kristen di Poso. Dipicu persoalan politik dan banyak pihak yang melakukan provokasi. Campur aduk. Tentu ujungnya, dalam perkara ini, media harus jernih dan netral. Saya pun sudah membayangkan, bagaimana seorang jurnalis dalam situasi mengerikan itu.
Baca Juga:Jabatan Bupati Subang Berakhir Desember, Sekda Didukung jadi PJ BupatiMan Jadda Wajada Paramadina
Itu kisah di ruang kelas, saat saya mengenal jurnalistik di tingkat kelas 3 tsanawiyah tahun 2001. Jurnalistik dasar sudah dikenalkan sebagai pelajaran muatan lokal (mulok). Saat itu, belum ada media sosial, tapi guru jurnalistik saya sudah dapat foto-foto itu.
10 tahun kemudian, setelah saya jadi jurnalis, tergambar dari buku yang saya baca, saat Dahlan Iskan membuka perusahaan pers di mana-mana. Termasuk di Poso, Sulawesi Tengah.
Betapa redaksi harus hati-hati melakukan peliputan di daerah konflik. Khususnya dalam kasus Poso, katanya, Dahlan harus mengirimkan jurnalis kristen ke daerah kristen. Sebaliknya, mengirimkan jurnalis muslim ke daerah konflik muslim. Demi keamanan.
Saat saya jadi pimpinan redaksi, beberapa kali pernah memutuskan untuk memutar penugasan jurnalis. Jika jurnalis sudah “ditandai” kelompok tertentu, saya harus menggantikannya dengan jurnalis yang lain. Demi keamanan.
Langkah lainnya, saya harus berkomunikasi dengan kepolisian dan TNI. Saya biasanya “curhat” ke mereka. Jika merasa ada bahaya. Berharap ada back up. Minimal hati lebih tenang. Saat begitu, kepolisian dan TNI dengan senang hati membantu. Minimal memberikan info-info analisanya.
Dari dulu saya merasa, polisi dan tentara adalah sahabat pers. Sahabat jurnalis ngopi dan udud di lapangan. Apalagi teman-teman intel. Mereka adalah ‘jurnalis’ yang tidak harus menulis berita. Hanya menulis laporan saja. Beda sedikit.