Man Jadda Wajada Paramadina

Man Jadda Wajada Paramadina
Saat menyampaikan presentasi tugas Thinking System.
0 Komentar

MAAFKAN saya harus menulis ini. Bercerita tentang diri sendiri. Tidak biasanya. Tapi saya ingin menuliskannya. Siapa tahu ada manfaatnya untuk orang banyak. Meski tentang saya, dijamin tidak akan seperti buku harian.

31 Januari 2023 lalu saya menyelesaikan studi Magister Komunikasi Politik di Universitas Paramadina. Setelah terseok-seok, akhirnya lulus juga. Di ujung tanduk. Jika tidak lulus semester ini, maka saya akan drop out (DO). Model saya ini sebaiknya jangan Anda tiru.

Saya daftar kuliah di Universitas Paramadina tahun 2018 lalu. Pulang menjelang magrib, kejebak macet di tol Japek. Saat itu sedang dibangun tol Japek II elevated. Bertepatan dengan pemasangan balok girder tol. Otomatis hanya satu ruas yang dibuka. Pasrah. Jam 2 pagi baru sampai di rest area Cipali. Terpaksa tidur di mobil. Untung saat itu ditemani istri.

Baca Juga:BUMD Gaya BaruPipa Utama Perumda TRS Patah akibat Jalan Longsor, Dewas Minta Dinas PUPR Jabar Lakukan Perbaikan Permanen

Tadinya saya mau daftar S2 di Unisba. Sudah ambil formulir di tahun 2017. Tapi terus tertunda. Belum keyeng. Hingga akhirnya kawan saya mengabari, ada info bisa kuliah S2 di Paramadina dengan skema biaya dicicil hingga lima kali. Kelas Sabtu. Perkuliahan dari jam 7 pagi hingga jam 4 sore.

Ya sudah nekad aja. Daftar. Urusan biaya gimana nanti. Jika ada ikhtiar pasti ada jalan. Man jadda wajada. Toh, S1 pun dengan cara begitu. Selesai juga. Yang penting ini: yang di rumah setuju. Biaya dapur otomatis terganggu. Hehe.

Semester pertama kuliah, semangat empat lima. Teman satu kelas pada hebat-hebat. Ada peneliti lembaga survey, jurnalis Kompas, Tempo, aktivis lingkungan, staf kementerian, aktor hingga pendeta. Buku referensi kuliah 98 persen berbahasa inggris. Sempat ciut nyali. Tapi ya sudah, hadapi saja. Urusan Bahasa inggris masih ada sisa-sisa di pondok dulu. Masih lumayan nempel.

Tapi sebenarnya saya merasa bersalah. Tidak minta izin secara langsung ke direktur perusahaan tempat saya bekerja. Begitulah jurnalis, kadang nabrak-nabrak. Meski ujungnya tahu, beliau menyetujui. Bijak. Tidak akan menghambat setiap karyawan untuk berkembang. Begitu memang seharusnya pemimpin.

Karena rumusnya saya sudah tahu. Di mana pun, pekerjaan tetap tidak boleh diabaikan. Derajatnya harus sama, jangan diabaikan. Apalagi jadi alasan pekerjaan tidak tuntas. Ini pelajaran penting.

0 Komentar