Ya, mungkin liputan-liputan saya dan tim tidak seberbahaya investigasi ala Tempo atau media besar lainnya. Tapi ancaman kekerasan masih terjadi.
10 tahun lalu, bahkan kekerasan fisik terhadap jurnalis masih nyata. Penyerangan ke kantor redaksi masih terjadi.
Lima tahun lalu, intimidasi tapi tanpa kekerasan fisik masih terasa.
Tapi tiga tahun terakhir, ancaman untuk pers sudah berbeda. Ancaman datang dari teknologi.
Baca Juga:Jabatan Bupati Subang Berakhir Desember, Sekda Didukung jadi PJ BupatiMan Jadda Wajada Paramadina
Digitalisasi tidak mengintimidasi, tidak menyerang kantor redaksi, tidak menyerang secara fisik, tapi digitalisasi mengancam eksistensi perusahaan media itu sendiri.
Tidak ada perusahaan media yang tumbang karena kekerasan atau premanisme. Tapi serangan digitalisasi bisa mematikan perusahaan media. Gulung tikar. Hebat menulis dan hebat investigasi jadi tidak ada gunanya saat perusahaan medianya tidak ada.
Tapi tidak sepenuhnya bisa disebut ancaman. Dunia hanya sedang berubah. Ada yang mati, ada yang lahir. Ada stagnasi, ada inovasi. Terus berpasangan. Ancaman digitalisasi kemudian dipercepat oleh pandemi Covid-19. Lengkap sudah.
Isi kepala saya makin kompleks. Tidak hanya sebagai jurnalis, redaktur atau pemimpin redaksi. Tapi sudah memikirkan lini bisnis media. Sebagai pemimpin perusahaan Pasundan Ekspres sejak 2017 lalu. Perubahan digitalisasi itu makin memicu untuk berpikir ekstra.
Ya sudah, inovasi harga mati. Di forum rapat para pemimpin perusahaan dan general manager, pekik semangat itu terlontar: Go digital, yes! Pekik semangat itu membahana usai rapat di Radar Cirebon pada November tahun lalu.
Begitu pula suasana kebatinan di Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari lalu. Ungkapan praktisi media, pengelola perusahaan pers diwakili oleh Presiden Jokowi: Dunia pers tidak sedang baik-baik saja. Platform digital mengeruk kue-kue iklan yang biasanya dinikmati perusahaan pers. Iklan itu, lari ke Google, Youtube, Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya.
Di beberapa negara modern seperti Cina, Rusia, Amerika dan negara-negara Eropa, peran jurnalis juga sudah digantikan oleh robot-robot cerdas. Mereka menyusun berita dan membacanya di studio menggantikan news anchor.
Baca Juga:BUMD Gaya BaruPipa Utama Perumda TRS Patah akibat Jalan Longsor, Dewas Minta Dinas PUPR Jabar Lakukan Perbaikan Permanen
Tapi, robot-robot journalism itu tidak bisa menyusun naskah jurnalisme sastrawi. Membangun narasi dengan logika saling keterhubungan dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Mereka hanya bisa menghitung data, mencatat gerak, dan mengumpulkan data-data dalam sebuah peristiwa. Intinya, jurnalis sulit tergantikan. Aktor dari semua teknologi adalah manusia.