Pojokan 145, Follower

Pojokan 145, Follower (kang Marbawi)
Pojokan 145, Follower (kang Marbawi)
0 Komentar

Pojokan 145, Follower – Ketika ada tempat, dimana semua informasi bermuara untuk ditafsirkan dan dinilai, dalam framing atau terdistorsi atau sengaja didistorsi, menjadi gossip melahirkan hoaxs.

Alih-alih berusaha memahami dengan kritis dan tak baperan (bawa perasaan), justru seringkali kita terhanyut dalam pusaran negative postingan gossip di media sosial.

Hanya untuk memenuhi hasrat dianggap selalu update dan aktualisasi kedirian di dunia maya.

Baca Juga:Batas Mandi Junub Ketika Puasa, Bolehkah Mandi Wajib Siang Hari? Begini Hukum dan Tata CaranyaCara Mengembalikan Akun Instagram yang Lupa Email dan Password, Ampuh Bingits!

Terhanyut saja tidak cukup! Godaan pusaran gossip dan update itu, memicu gelombang kebebalan nalar dan distorsi informasi.

Melahirkan para penghakim yang pandir empati.

Menghakimi “lian” yang dianggap berbeda, tak sama, apalagi bersebrangan, seolah menjadi budaya.

Tak peduli penghakim itu, mengerti persoalan secara keseluruhan, atau hanya melihat sekilas, dari potongan kiriman di medsos yang bisa dipastikan tidak utuh. Pun tak tabu siapapun yang dihakimi.

Di dunia maya, setiap hari, laksana hari penghakiman pada postingan apa pun dan dari siapa pun.

Microsoft pun mendapuk natizen atau pengguna internet Indonesia sebagai natizen yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara di bulan Februari 2021.

Profesor U. S Naval War College dan Harvard Extension School, Tom Nicols menyebut fenomena penghakiman yang bebal nalar ini sebagai sebuah kematian nalar.

Hanya untuk memenuhi hasrat heroic, untuk menarik dorongan narsisme yang dilahirkan dari revolusi digital, media sosial, dan internet.

Silahkan baca bukunya Tom Nicols, The Death of Expertise.

Tom menjelaskan, kepakaran telah berpulang ke rahmatullah, kalah oleh influencer.

Baca Juga:7 Cara Ngehack Wifi Lewat HP, Ampuh Bagi yang Lupa Sandi!Wujudkan Mimpi, PLN UP3 Purwakarta ULP Plered Sambungkan Listrik Gratis!

Kebenaran dan nalar, terkuburkan oleh jumlah followers atau pengikut akun media sosial tertentu.

Jumlah follower, menjadi legitimasi sah kebenaran yang diposting.

Matinya nalar yang melahirkan ketumpulan nalar itu menjadi karakter utama para natizen, tanpa melihat siapa dan kemahiran apa yang dimiliki yang difollow.

Ketika sebuah isu yang di update di media sosial, diamini terus menerus secara kolektif, maka isu itu menjadi kebenaran.

Disinilah yang dimaksud Tom, matinya nalar dan melahirkan kepilonan.

Kepilonanan yang lahir dari fenomena yang diketengahkan sebagai sebuah realitas dan direfleksikan dalam framing tertentu.

0 Komentar