PASUNDAN EKSPRES – Rebo Wekasan adalah sebuah tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura.
Hingga saat ini, tradisi ini masih tetap hidup di berbagai wilayah dengan tujuan untuk melawan bala atau malapetaka.
Sesuai dengan namanya, Rebo Wekasan berarti Rabu terakhir dalam bulan Safar dalam kalender Islam.
Baca Juga:Lagu Helo Kuala Lumpur, Mirip dengan Lagu Hallo Bandung, Malaysia Jiplak?Ulas Pelaksanaan Undang-undang Desa, Kades Sukamandijaya Ciasem Subang jadi Pembicara di Forum Bank Dunia
Karena itulah, masyarakat setempat merasa perlu melakukan ritual untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT.
Merujuk pada buku “Kitab Doa-Doa Tolak Bala” karya Siti Nur Aidah, bulan Safar dianggap identik dengan cuaca yang tidak menentu.
Oleh karena itu, mengadakan tradisi Rebo Wekasan dianggap dapat mengusir bala atau bencana dari daerah mereka.
Mengutip laman resmi Desa Suci Kabupaten Gresik, Rebo Wekasan memiliki sejarah yang panjang dan telah ada sejak penyebaran Islam di Indonesia.
Masyarakat Jawa dulu percaya bahwa Rabu terakhir di bulan Safar adalah hari sial menurut kepercayaan lama kaum Yahudi.
Pada tahun 1602, tepatnya dalam bulan Safar, muncul kabar tentang rencana penjajahan Belanda di Jawa.
Masyarakat kemudian melakukan serangkaian ritual untuk melawan kedatangan penjajah ini, dan ritual ini berkembang menjadi tradisi Rebo Wekasan.
Baca Juga:Polda Jatim Bongkar Praktik Order Fiktif GoFood, Transaksi Mencapai Rp2,2 MVideo Viral Bule dan WNI di Bali Berhubungan Badan di Depan Rumah Warga
Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap tradisi Rebo Wekasan?
Pandangan Islam tentang Tradisi Rebo Wekasan
Tradisi Rebo Wekasan ini menjadi perdebatan di kalangan umat Islam karena dianggap tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam.
Meskipun demikian, Syekh Abdul Hamid Kudus dalam kitab “Kanzun Najah was Surur” menyebutkan bahwa, “Allah menurunkan ratusan ribu jenis musibah dan kesialan pada hari Rabu terakhir bulan Safar,” ini menjadi dasar bagi pelaksanaan ritual Rebo Wekasan.
Selain itu, dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Nabi SAW bersabda:
“Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Safar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang yang meninggal rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR Bukhari dan Muslim)
Menurut al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, hadits ini merupakan tanggapan Nabi SAW terhadap kepercayaan yang berkembang di zaman Jahiliyah.
Ibn Rajab menjelaskan: Maksud hadits di atas adalah bahwa orang-orang Jahiliyah dulu percaya bahwa kesialan datang pada bulan Safar, dan Nabi SAW membantah kepercayaan tersebut.