PASUNDAN EKSPRES – Pada tanggal 7 September 2023, ketegangan antara masyarakat adat Pulau Rempang, Kepulauan Riau, dan aparat gabungan menjadi sorotan utama.
Menanggapi konflik ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD telah memberikan penjelasan tentang status tanah di Pulau Rempang.
Mahfud MD tidak hanya mengungkapkan status tanah di Pulau Rempang, tetapi juga mengidentifikasi penyebab konflik tersebut.
Baca Juga:Masuk 2024, Begini Rancangan Skema Penggajian ASN, Tunjangan DihapusMalam Ini Rebo Wekasan, Tradisi Memohon Perlindungan Allah di Rabu Terakhir Bulan Safar
Menurutnya, terdapat ketidaksesuaian dalam penerbitan izin tanah yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Berikut adalah penjelasan Mahfud MD mengenai status tanah di Pulau Rempang
Menurut Mahfud, pada tahun 2001-2002, negara memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah perusahaan melalui hak guna usaha.
Namun, sebelum investor tersebut memulai aktivitasnya, tanah di Pulau Rempang masih terlantar dan tidak pernah dikunjungi.
“Tanah Rempang itu, sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok,” ujar Mahfud pada Jumat, 8 September 2023.
Mahfud menegaskan bahwa Surat Keterangan (SK) hak guna usaha tersebut telah diberikan secara sah pada tahun 2001 – 2002.
Namun, pada tahun 2004 dan seterusnya, tanah di Pulau Rempang diberikan hak baru kepada pihak lain untuk ditempati.
Permasalahan muncul pada tahun 2022 ketika seorang investor berencana masuk. Pemegang hak guna usaha asli datang untuk memeriksa tanah di Pulau Rempang, tetapi tanah tersebut telah ditempati oleh masyarakat setempat.
Baca Juga:Lagu Helo Kuala Lumpur, Mirip dengan Lagu Hallo Bandung, Malaysia Jiplak?Ulas Pelaksanaan Undang-undang Desa, Kades Sukamandijaya Ciasem Subang jadi Pembicara di Forum Bank Dunia
Mahfud mencatat adanya ketidaksesuaian dalam perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ini menjadi salah satu pemicu konflik.
Lebih lanjut, Mahfud menjelaskan bahwa konflik yang terjadi di Pulau Rempang bukan disebabkan oleh hak atas tanah, melainkan proses pengosongan lahan yang telah lama berlangsung.
Ia berpendapat bahwa masyarakat Pulau Rempang, pemegang hak, dan investor sebaiknya berdiskusi bersama untuk mencari solusi, termasuk soal kompensasi.
Mahfud mengingatkan untuk menghindari kekerasan dalam pengosongan lahan, kecuali dalam situasi darurat.
Ia menegaskan bahwa konflik di Pulau Rempang bukan penggusuran, melainkan pengosongan lahan yang berkaitan dengan perubahan pemegang hak atas tanah.