PASUNDAN EKSPRES – Ahmad Rizal, Calon Anggota Legislatif DPRD Dapil 4 Kabupaten Subang, memberikan klarifikasi terkait dugaan keterlibatannya dalam tindakan meneror warga di Desa Tambak Jati, Kecamatan Patokbeusi, menggunakan petasan setelah suaranya menurun dalam Pileg.
Ahmad membantah keras tuduhan tersebut, menyatakan bahwa informasi yang beredar tidak akurat. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak terlibat dalam tindakan meneror dengan menggunakan petasan.
“Kabar tersebut sepenuhnya tidak benar. Jika ada warga yang merasa diteror, tanyakan kepada mereka langsung. Bahkan ada yang meminta petasan kepada saya tanpa ada keterlibatan teror,” ungkap Ahmad kepada wartawan di Kantor Kecamatan Patokbeusi, Senin (26/2/2024).
Baca Juga:Memasyarakatkan Sepakbola Sejak Dini, Tangguh Gelar Turnamen Geas Usia 10 TahunHasil Perhitungan Berbeda, Relawan PKB Curiga Ada Pergeseran Suara Ilegal
Ahmad menjelaskan bahwa penggunaan petasan terjadi di beberapa titik di Desa Tambak Jati, namun hanya satu kampung yang mempermasalahkan insiden tersebut.
“Jika memang ada warga yang merasa diteror, mengapa hanya satu kampung yang protes, padahal ada delapan kampung lainnya yang turut serta menyalakan petasan,” tegasnya.
Selain membantah tuduhan meneror warga, Ahmad juga memberikan penjelasan terkait pembongkaran jalan yang dilakukan olehnya.
Ia menegaskan bahwa pembangunan jalan tersebut bukan menggunakan dana aspirasi masyarakat, melainkan dana pribadi saat menjabat sebagai anggota DPRD Subang periode 2014-2019.
“Tentang pembongkaran coran, itu sudah ada kesepakatan dan janji bersama warga Blok Jambu yang sepenuhnya memilih saya. Saya tegaskan, jalan coran itu bukan dana aspirasi, melainkan uang pribadi dan bukan jalan umum, tapi jalan buntu,” jelasnya.
Sebelumnya, caleg tersebut dituduh meneror warga dengan menyalakan petasan di menara Mesjid Tegal Koneng, Desa Tambak Jati, Kecamatan Patokbeusi, Kabupaten Subang, setelah diduga kalah dalam Pileg 2024 di Dapil 4 Kabupaten Subang.
Tindakan tersebut juga melibatkan anak buahnya menyalakan petasan di wilayah dengan perolehan suara rendah, yang kemudian menjadi viral di media sosial.