Pojokan 123, Tiga dosa

Pojokan 123, Tiga dosa
Pojokan 123, Tiga dosa
0 Komentar

16 Oktober 2022, untuk pertama kalinya, bertemu dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Republik Indonesia. Obrolan semi formal berlangsung gayeng. Setelah menjelaskan beberapa isu program yang digadang oleh Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII). Salah satu hal yang disampaikan putra Nono Anwar Makarim dan Atika Algadri ini, adalah soal pengakuan tiga dosa besar di lembaga pendidikan: intoleransi, perundungan dan kekerasan seksual.

Pengakuan yang telah lama tak di akui. Atau malu-malu diakui sebagai sebuah dosa. Dosa yang seolah dibiarkan terus berlangsung. Menjadi permisif dan dipandang lumrah. Sehingga siswa, guru dan orang tua menjadi korban. Korban dari sistem yang permisif terhadap dosa itu. Pengakuan sebagai pewaris dosa. Pun mengingatkan, jangan ada lagi dosa itu!

Tak salah Nadiem. Sebab sekolah adalah bagian dari social engineering, rekayasa sosial bagi sesiapapun. Sekolah menjadi instrument fundamental untuk membentuk masyarakat sesuai yang diinginkan dalam proses transformasi sosial. Sayangnya, tak semua sekolah dan pengelolanya mampu mewujudkan instrument itu untuk melahirkan manusia yang peka. Tak usahlah sampai paripurna. Peka pun tidak.

Baca Juga:Atalia Praratya Raih Penghargaan Kategori Promoter LiteracyJabar Komitmen Kembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik secara Pentahelix

Sekolah berkutat pada mengasah otak agar setajam buluh bambu dalam analisis. Lupa untuk mengasah ketajaman kepekaan bathin anak. Bisaj jadi tiga dosa besar warisan itu akibat ketumpulan kepekaan, yang tak pernah diasah. Entah kenapa, kepekaan itu semakin jumud dalam relasi kemanusiaan dan masyarakat. Hingga merayap ke sekolah. Atau justru, karena sekolah tak menajamkan kepekaan, sehingga berimbas ke masyarakat. Masyarakat, teknologi informasi dan sekolah saat ini berkelindan dalam sistem sosial yang saling memengaruhi.

Kepekaan yang lupa diasah itu adalah kepekaan sosial. Perasaan terenyuh, empati dan sebangsanya menjadi sangat jarang disentuh. Media sosia yang memberikan dunia baru tak tersentuh, justru menutup pintu kehalusan perasaan. Kehalusan perasaan pun tak tercontohkan dalam kehidupan sosial di sekolah. Semburan kata yang tak adab, ketakpedulian, “aku yang bebas tak tersentuh”, menjadi menu asupan dari penolak kehalusan budi. Melahirkan sikap bebal untuk tega membuli dan tak malu memerkosa keadaban.

0 Komentar