Pernikahan Dini di Indonesia

0 Komentar

Pernikahan dini yang terjadi pada kisaran umur 10-20 tahun dimana anak masih berada pada tahap perkembangan mental yang belum matang, tidak stabil dan rentan dipengaruhi kondisi lingkungan. Kita melihat dari kondisi psikologis remaja dimana menikah di usia remaja lebih rentan menghadapi konflik yang berdampak pada perceraian. Perceraian jika terjadi pada remaja akan mempengaruhi psikis otak dan dapat dikatakan sebagai kehancuran yang harus dihadapi. Hal ini disebabkan karena yang pertama ketidaksiapan secara mental untuk menghadapi masalah-masalah rumah tangga seperti keuangan untuk biaya rumah tangga , anak sakit ataupun hal-hal kecil lainnya yang tidak dapat diatasi karena belum bisa mengendalikan emosi. Kedua ketidaksiapan materi sehingga membebani orang tua untuk membantu biaya hidup. Dan turut campurnya orang tua dalam rumah tangga dapat memunculkan konflik. Dalam pengamatan saya setiap tahun pasti selalu ada pernikahan yang terjadi di desa Gadung yang dilakukan oleh anak usia remaja setelah lulus SMP atau SMA sekitar 5-7 anak remaja melangsungkan pernikahan. Dan tidak banyak dari mereka yang berhasil melangsungkan pernikahan karena perceraian. Tiga dari lima anak perempuan meninggal karena tidak kuatnya kondisi fisik akibat kesehatan reproduksinya ataupun tidak kuatnya kandungan karena usia yang masih terbilang remaja.
Kehancuran yang sering terjadi yaitu perceraian yang biasanya terjadi karena kurang adanya rasa kepercayaan antar pasangan. Di desa Gadung Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora ini juga sering terjadi bahkan mereka sudah memiliki anak. Sekitar 7 dari sepuluh pernikahan yang mengalami perceraian yang mengakibatkan terlantarnya anak karena tidak ada yang mau mengurusi mereka, namun karena kasihan para nenek dan kakek terpaksa bertanggung jawab atas kelakuan anak-anaknya. Menikah merupakan bersatunya individu dalam sebuah komitmen untuk bersama, sehingga harus memahami tujuan menikah dan menyiapkan diri baik secara fisik, mental maupun materi dengan sebaik-baiknya.
Akibat dari peristiwa ini, orang tua memiliki beban ganda. Disamping mengurus keluarganya tapi ditambah beban harus menanggung beban anaknya yang mengalami kegagalan perkawinan. Pola pengasuhan anak di Jawa pada umumnya orang tua masih memiliki tanggung jawab moral terhadap keberlangsungan hidup putranya meskipun mereka sudah menikah bahkan di beberapa keluarga Jawa, orang tua masih memikirkan membuatkan rumah dan kebutuhan dasar lainnya. Berbeda dengan keluarga Eropa, begitu anaknya menikah maka mereka sudah harus punya kerajaan atau tanggung jawab sendiri, sehingga harta milik orang tua akan dimanfaatkan oleh orang tuanya sendiri memasuki usia tua baik untuk makan.kesehatan, rekreasi dll.

0 Komentar