Adil adalah kata imajiner yang “sakti”. Tak ada yang sanggup memegangnya dengan pasti. Bahkan kata itu hampir-hampir mati. Ia “adil”, bisa menjadikan “sesuatu” seperti pedang tajam yang menyayat praktek-praktek kesewenangan yang dilakukan siapapun. Namun bisa juga ia hanya “pisau dapur tumpul” yang tak sanggup mengupas bawang merah.
Apalagi menyayat “otot tendon” keserakahan dan kesewenangan. Bergantung “gerak hati murni” sang pemegang pedang”. Ya, “adil” bisa berwujud “hukum”. Hukum akan memiliki kesaktian yang maha dahsyat jika dilekati dan dijiwai kata sakti “adil”. Hukum tanpa kata “sakti”adil, akan tumpul, kisut dan membusuk oleh ulat kesewenangan dan kelaliman kepentingan siapapun.
Adil adalah kata “sakti “ketiga setelah kata sakti “ketuhanan” dan “kemanusiaan”. Trilogi yang tak terpisahkan dan saling berkait. Tak ada “Ketuhanan” yang tak memuliakan nilai “kemanusiaan”dan tak perbuatan “adil. Tak ada “kemanusiaan” yang tak terhubung-manunggal dengan sifat ketuhanan dan bersikap adil. Begitupun tak ada “keadilan” yang tak didasari keterhubungan-kemanunggalan dengan “Ketuhanan” dan kepekaan terhadap nilai “Kemanusiaan”. Keadilan adalah buah dan tujuan dari nilai dan nurani kemanusiaan.
Lalu adakah keadilan hadir di depan mata kita?
Layaknya sepak bola. Pemain dan penonton bola, membutuhkan wasit, agar permainan berjalan baik. Sehebat Messi atau Ronaldo pun tidak akan berkutik tanpa wasit. Tanpa wasit, olah raga dimana 11 orang berebut mengejar bola melewati 11 pagar manusia itu untuk dimasukan kedalam sebuah jaring net berdiri, bak sekumpulan bebek berebut makanan yang berlari kesana kemari tanpa tujuan. Walaupun hebat Messi dan Ronaldo harus mengikuti aturan ini-itu tentang cara “menggocek” sikulit bundar. Salah satunya tidak boleh berlaku curang, macam memasukan bola ke gawang dengan tangan model Maradhona. Protes berbusa kepada wasit boleh saja. Tapi tetap keputusan wasit harus diikuti. Tak peduli perasaan tim dan pendukung tim yang kalah atau menang. Yang kalah merasa dicurangi, bisa jadi. Seperti halnya kalah pada pemilihan kepala daerah, bisa mengajukan diri ke Mahkamah Konstitusi -MK untuk “mengadu nasib” dan “menuntut” keadilan. Tapi tak boleh “membeli” keadilan. Sebab keadilan tak bisa dibeli. Tak ada warung yang “jualan” keadilan.