Revisi UU ITE, Akankah Memberikan Rasa Keadilan?

Revisi UU ITE, Akankah Memberikan Rasa Keadilan?
0 Komentar

Oleh Ummi Nissa
Penulis dan Komunitas Rindu Surga

Wacana revisi UU ITE kembali menjadi sorotan. Setelah presiden melontarkan usulan, membuka peluang revisi UU jika dirasa ada ketidakadilan. Terutama dalam sejumlah pasal “karet” yang kerap kali disalahartikan dan ditafsirkan secara sepihak. DPR pun tampaknya sejalan dengan apa yang diusulkan.

Dalam menanggapi usulan Revisi UU ITE ini beragam komentar publik pun dilontarkan. Sebagaimana yang dilansir oleh kompas.com (20/2/2021), Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas menilai kondisi Indonesia setelah diberlakukannya UU ITE. Menurutnya ada kesamaan antara situasi Indonesia saat ini dibandingkan dengan Orde Baru. Ia pun menyatakan saat ini sudah bergerak ke arah neo otoritarianisme.

Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Beliau mengamati dari beberapa indikator. Pertama, masifnya buzzer di media sosial. Orang yang kritis pada pemerintah kerap diserang dengan buzzer, menggunakan berbagai macam cara. Kedua, teror dengan meretas alat komunikasi, termasuk teror kepada aktivis kampus. Ia mencontohkan kasus teror kepada civitas Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang hendak menggelar diskusi terkait pemakzulan presiden. Ketiga, terdapat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dinilainya seolah-olah melegalkan perbuatan para buzzer. Beliau pun mengatakan bahwa UU ITE memiliki karakter seperti pelembagaan buzzer yang telah memakan banyak korban.

Baca Juga:Birokrasi di Sistem DemokrasiPembangunan yang Merusak Alam, Salah Siapa?

Saat revisi UU ITE pun diusulkan, diharapkan dapat membawa angin segar bagi pihak-pihak yang selama ini mendapat ketidakadilan. Sehingga dapat membuka peluang untuk menyampaikan kritikan dan masukan pada pemerintah tanpa dibayangi ketakutan.

Akankah harapan ini jadi kenyataan?

Berbicara tentang revisi Undang-Undang ITE, saat ini bukan yang pertama kali terjadi. Pada tahun 2016 silam juga telah dilakukan hal yang sama. Revisi dilakukan terhadap pasal yang dianggap multitafsir. Akan tetapi hasilnya tak banyak mengubah keadaan. Pasal 27 hingga 29 yang karet dan rentan digunakan untuk mengkriminalisasi warga masih tetap ada. Misalnya Pasal 27 yang hanya diubah menjadi delik aduan. Unsur pidananya mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan pengurangan ancaman pidana penjara dari enam tahun menjadi empat tahun.

0 Komentar