Belum lagi berbicara hukum miras yang jelas-jelas diharamkan baik dalam agama Islam ataupun agama lain. Dan pada faktanya Provinsi Papua pun menolak jika dijadikan salah satu wilayah untuk diproduksi miras. Jangan rusak wilayah kami dan generasi Papua, begitulah salah satu ungkapannya.
Pengesahan Perpres ini pun dinilai banyak kalangan sarat dengan kepentingan ekonomi, terutama bagi para oligarki. Menurut Wakil Ketua Majelis Ulama Indoneisa (MUI), Anwar Abbas, ia menganggap bahwa negara sudah tidak peduli pada rakyatnya, pemerintah sekarang semakin liberal dan kapitalistik, dan makin tampak hanya mengedepankan kepentingan para pengusaha (oligarki). Dan telah membuat rakyat makin waswas karena kebijakan tersebut.
Saat ini, ketika Perpres ini di cabut, tidaklah membuat kita berbahagia. Seharusnya pencabutan perpres ini dilatarbelakangi oleh banyaknya protes dari beberapa lapisan masyarakat bukan pertimbangan keharaman yang berlandasan hukum syara. Apalagi Perpres ini merupakan salah satu turunan dari induknya yaitu UU Cipta Kerja yang menyengsarakan rakyat. Realitas ekonomi Indonesia memang sedang limbung karena hantaman virus Corona. Berbagai langkah sudah dilakukan untuk menyelamatkan ekonomi, tapi tak kunjung membuahkan hasil. Upaya menambah utang terus dilakukan hingga menembus angka Rp6.000 Triliyun. Sungguh angka yang tidak sedikit. Upaya menarik dana masyarakat juga terus dilakukan. Iuran BPJS, Listrik, pajak hingga wakaf tunai pun dikejar oleh pemerintah. Dalihnya demi menyelamatkan ekonomi yang sudah hancur. Dan bisa jadi investasi miras ini pun dilakukan untuk mendongkrak angka-angka yang menjadi indikator kesehatan ekonomi.
Baca Juga:Dunia Butuh Junnah, Penegak Syariat yang Membawa KeberkahanPerpres Investasi Miras Bikin Miris
Namun tentu sangat disayangkan jika untuk menyelamatkan ekonomi, negara rela mengorbankan masa depan generasi yang akan datang. Bukankah langkah ini justru menjadi kotraproduktif? Kalaupun dikatakan investasi ini hanya berlaku di empat Provinsi saja, yakni Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua dan Sulawesi Utara. Tapi pelegalan ini dari skala industri besar sampai pedagang kaki lima. Artinya akses publik untuk mendapatkanya semakin terbuka lebar. Dan apakah dampaknya hanya pada empat wilayah tersebut saja?
Maka kebijakan tersebut memang perlu dipertanyakan, akankah kebijakan ini mampu mengeluarkan Indonesia dari keterpurukan ekonomi? Ataukah justru menambah persoalan baru yang harus dihadapi pemerintah dan masyarakat? Kebijakan ini seharusnya mendapat penentangan dari masyarakat. Mengingat Indonesia mayoritas penduduknya adalah muslim.