Seruan Benci Produk Luar Negeri: Retorika Politik Pemikat Hati Rakyat

Seruan Benci Produk Luar Negeri: Retorika Politik Pemikat Hati Rakyat
0 Komentar

Risma Choerunnisa, S. Pd.

Seruan cintai produk dalam negeri kembali digaungkan, bahkan kini seruan itu ditambah dengan seruan untuk membenci produk luar negeri. Pada Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kemendag secara virtual, Kamis (4/3), Presiden Joko Widodo mengajak masyarakat Indonesia membenci produk-produk asing. Jokowi bahkan meminta produk asing ditaruh di tempat yang sepi pembeli. “Produk dalam negeri gaungkan, gaungkan juga benci produk-produk luar negeri, bukan hanya cinta tapi benci. Cinta barang kita, benci produk luar negeri. Sehingga betul-betul masyarakat kita menjadi konsumen yang loyal untuk produk-produk Indonesia,” ujarnya (Kumparan.com, 6/3).

UMKM diberi ruang di pusat-pusat perbelanjaan di lokasi strategis. Harapannya, produk dalam negeri lebih dicintai dibanding branding luar negeri. Inilah strategi yang dipandang tepat untuk mengembangkan pasar produk nasional. Tentu saja seruan ini disambut baik oleh masyarakat, terutama kalangan pengusaha UMKM.

Namun, tantangan di era perdagangan digital tak bisa dielakkan. Kekhawatiran bahwa negeri ini menjadi pasar produk impor melalui perdaganagn digital akhirnya terjadi juga. Kini, produk impor sudah meraksasa di market place. Karena kenyataannya, produk impor dibandrol lebih miring sehingga lebih diminati konsumen. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menjelaskan bahwa dari segi harga produk impor dari beberapa negara memang lebih murah dibandingkan produk serupa yang diproduksi di dalam negeri. Hal ini tak lepas dari kondisi produksi yang belum efisien. “Konsumen di ekonomi digital Indonesia memiliki karakteristik price oriented consumer, artinya mereka rasional. Selama produk di luar negeri lebih murah mereka akan lebih memilih produk impor,” kata Nailul (Bisnis.com, 24/2).

Baca Juga:Investasi Miras Bikin MirisLembaga Pemberantasan Korupsi, Kemoceng Bulu Angsa di Gudang Arang

Mirisnya, di tengah serbuan produk impor, nasib penguhasa dalam negeri seolah tanpa pelindung. Penguasa tunduk pada ASEAN-China Free Trade Area yang membebaskan pajak barang yang masuk ke wilayah Indonesia. Semantara di dalam negeri penguasa tak mampu mewujudkan iklim bisnis yang kondusif. Pengusaha lokal dipungut pajak dan aneka pungutan yang menjadikan harga produk tidak kompetitif. UMKM dilepas ke pasar bebas unruk bersaing dengan korporasi besar dunia. Hasilnya, pendapatan dari perdagangan digital hanya dinikmati asing.

0 Komentar