Pada dasarnya permasalahan dasar dari pertanian bukan SDM (baca: Sumber daya manusia) saja. tapi kepemilikan lahan pertanian, tutur Dwi Condro Kirono, Ph.D. Pakar ekonomi Islam itu pun menambahkan bahwa tenaga manusia, permodalan, alat produksi, dan saprodi itu hanyalah sarana semata, bukan asas. Sedangkan solusi meregenerasi petani muda untuk terjun langsung ke lapangan, tidak akan menyelesaikan permasalahan sektor pertanian, tanpa adanya perubahan sistem kepemilikan lahan (baca: tanah).
Ironisnya, sistem kepemilikan lahan saat ini dikuasai oleh kapital. Sehingga setiap individu bebas menguasai lahan, memanfaatkan dan mengembangkannya. Termasuk lahan pertanian pun bebas ditanam ataupun dialihfungsikan sebagai kawasan industri misalnya. Tak terelakkan lagi akan muncul persaingan antara pemilik lahan besar dengan petani yang notabene memiliki lahan kecil yang akan semakin sempit, karena kemiskinannya. Biaya pupuk dan lahan yang sempit menjadikan hasil pertanian sedikit, sehingga tak jarang petani merugi ataupun hasilnya hanya cukup dikonsumsi sendiri.
Kebijakan pemerintah yang kapitalistik ini berbanding terbalik, dengan solusi Islam. Kebijakan kapitalistik yang kontradiktif diantaranya, kebijakan impor pangan ditengah panen raya, harga pupuk yang melambung ditengah pengurangan subsidi pupuk. Dengan demikian, jelaslah yang menjadi dasar karut-marutnya permasalahan dibidang pertanian adalah memberikan jalan kepada swasta atau individu untuk menguasai ataupun memiliki lahan seluas-luasnya. Sedangkan tugas negara ataupun pemerintah hanya sebatas pengawas saja, bukan sebagai penanggungjawab atau pengurus urusan rakyat. Inilah realitas sistem saat ini yang terjadi di negeri agraris.
Baca Juga:Memimpikan Kampusku yang CantikSeri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 39 Memaknai Sila Ketiga “Persatuan Indonesia” Tribalisme
Islam memandang pengaturan kepemilikan lahan adalah dengan penyatuan kepemilikan lahan pertanian dengan produksinya. Hal ini sejatinya akan meningkatkan produksi pertanian. Hal ini karena dalam islam individu dibebaskan untuk memiliki lahan, selama ia masih mampu memproduksinya. Beberapa aturan sistem kepemilikan lahan pertanian adalah sebagai berikut :
Pertama, ketika individu menghidupkan tanah mati (ihya’u al-mawat) maka tanah itu dapat menjadi miliknya. Rasullullah Saw bersabda : “Siapa saja menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad). Dengan demikian, tidak ada lagi lahan kosong yang mati. Karena semua lahan produktif.