Oleh Arini Faaiza
Pegiat Literasi, Member AMK
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Istilah tersebut seolah tepat untuk menggambarkan kondisi perekonomian negeri ini. Kehidupan masyarakat yang sebelumnya telah sulit, seolah kian bertambah saat pandemi menyapa tanpa permisi. Kini setahun sudah wabah Covid-19 membersamai kehidupan bangsa ini, dampak buruknya pun dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat hampir di setiap sektor kehidupan, baik ekonomi, sosial maupun pendidikan.
Dalam sektor ekonomi, pandemi mengakibatkan nasib industri kian terpuruk. Salah satunya adalah industri tekstil di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sejak Tahun 2017 Industri Kecil Menengah (IKM) Tekstil Majalaya terus mengalami penyusutan akibat gempuran produk tekstil asal Tiongkok. Hingga kini hanya sedikit IKM yang mampu bertahan dan tetap berproduksi. Mewabahnya Covid-19 semakin menyulitkan pelaku industri untuk mendistribusikan produk mereka. Selain jalur distribusi yang terhambat, IKM Tekstil Majalaya juga kesulitan menjual produk karena melemahnya daya beli masyarakat. Bahkan hingga saat ini tidak sedikit barang produksi tahun lalu yang tidak terjual dan menumpuk di gudang.
Permasalahan yang menimpa industri tekstil Majalaya semakin berat ketika bahan baku industri melonjak hingga 30% selama kurun waktu tiga bulan terakhir. IKM Tekstil Majalaya berharap adanya perhatian dari pemerintah terhadap nasib mereka. Jika tidak, besar kemungkinan dalam beberapa bulan kedepan akan ada PHK massal. (ayobandung.com, 12/03/2020)
Baca Juga:Perempuan dan TerorismeMampukah Bank Syariah Eksis, di Tengah Gempuran Kapitalis
Majalaya merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Bandung. Di masa lalu, industri tekstil daerah ini pernah mengecap kejayaan, yaitu di era 1960-an. Saat itu hasil produksinya mampu menyuplai 40% kebutuhan tekstil nasional, terutama sarung. Dengan alat tenun tradisional, industri tekstil di tempat ini berkembang dengan sangat pesat, sehingga Majalaya mendapat julukan sebagai kota dollar.
Namun seiring dengan kemajuan teknologi, justru banyak industri yang berguguran karena tak mampu beradaptasi. Selain faktor teknologi, pemberlakuan perdagangan bebas ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) yang mulai diterapkan pada tahun 2010 lalu telah banyak menimbulkan dampak negatif pada sektor industri. Membanjirnya produk impor asal China yang notabene lebih murah dan berkualitas adalah bukti bahwa produk Indonesia kalah bersaing dengan produk dari negeri tirai bambu tersebut. Hal ini berpengaruh pada menurunnya jumlah industri dalam negeri (de industrialisasi). Di Majalaya sendiri saat ini perusahaan tekstil yang bertahan hanya tinggal 11%.