Seorang pemimpin dalam sebuah pemerintahan Islam akan berusaha maksimal untuk mengentaskan setiap permasalahan rakyatnya, karena ia adalah perisai umat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“…seorang kepala negara adalah pemimpin bagi rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya….” (HR. Muslim)
Peran negara dalam melindungi industri kecil sangatlah besar. Sebagai contoh dalam hal modal usaha, pada situasi tertentu seperti terjadinya wabah, negara akan hadir dengan memberikan modal dalam bentuk hibah atau pinjaman tanpa bunga. Penyalurannya dilakukan melalui baitul mal, sedangkan dana yang dikeluarkan diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam oleh negara, zakat, jizyah, dan kharraj.
Baca Juga:Perempuan dan TerorismeMampukah Bank Syariah Eksis, di Tengah Gempuran Kapitalis
Sementara itu dari sisi perlindungan produk yang dihasilkan oleh industri dalam negeri, negara akan memperketat impor barang dari luar negeri. Walaupun kegiatan ekspor dan impor dalam sistem ekonomi Islam adalah hal yang mubah, seperti halnya hukum umum perdagangan. Namun ada ketetapan terkait ekspor impor yang harus dilaksanakan sesuai ketetapan Islam.
Dalam ekonomi syariah, kegiatan impor dan ekspor adalah bentuk dari aktivitas perdagangan yang didalamnya terjadi praktik jual beli. Hanya saja, ada perbedaan antara perdagangan domestik dan luar negeri. Misalnya pada perdagangan luar negeri, yang dipermasalahkan bukanlah sekedar aspek barang yang diperdagangkan melainkan pihak yang melakukan perdagangan juga telah ditetapkan aturan. Misalnya ketika yang melakukan kerjasama perdagangan adalah kaum kafir harbi, yaitu negara kafir yang bermusuhan dengan umat Islam. Mereka diperbolehkan melakukan perdagangan dengan visa khusus.
Namun hal tersebut tidak berlaku bagi kafir harbi fi’lan yaitu negara yang memerangi umat Islam secara nyata seperti Amerika, Israel, Inggris, Perancis dan Rusia. Mereka tidak boleh melakukan kerjasama perdagangan apapun dengan kaum muslimin. Adapun negara kafir mu’ahad yaitu kafir yang terikat perjanjian dengan negara Islam, mereka diperbolehkan melakukan perdagangan sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat.
Perdagangan luar negeri walaupun merupakan aktivitas ekonomi, namun karena terkait dengan hubungan di luar wilayah daulah maka dari sisi orang, barang dan modal yang masuk ke dalam negara berada dalam kontrol ketat Departemen luar negeri. Misalnya status halal dan haram barang yang diperdagangkan dikembalikan pada pengaturan syariat Islam. Jika melanggar ketetapan aturan Islam, negara boleh melakukan larangan masuknya impor barang tersebut.