Namun demikian, kata IRIAN tidak membuat masyarakat yang menempati pulau seluas 312.224,37 km2, puas. Mereka merasa, nama tersebut belum mewakili keaslian orang yang mendudukinya. Nama IRIAN JAYA, bagi sebagian orang di pulau Burung Cendrawasih adalah identitas simbol penindasan di “tanah panas”.
Hingga Gus Dur, Presiden ke empat, memberikan mereka kebebasan untuk merubah nama IRIAN menjadi PAPUA, asal tetap menjadi bagian Republik Indonesia. Gus Dur pun membolehkan mengibarkan bendera Bintang Kejora sebagai simbol kultural. “Laksana bendera kesebalan sepakbola”, kata Gus Dur. Bukan simbol perlawanan. Gus Dur juga memberikan Otonomi Khusus lengkap dengan dana Otonomi Khususnya. Walau carut marut dalam pengelolaannya.
Gus Dur melakukan sebuah pendekatan dialogis berbasis kultural. Pendekatan yang disebut “kewargaan bineka” atau multicultural citizenship menurut Renato Rosaldo dan Will Kymlicka (2003).
“the right to be different (in terms of race, ethnicity, or native language) with respect to the norms of the dominant national community” begitu kata Renato.
(Pengakuan dan sekaligus pemenuhan hak-hak khusus yang berbeda kepada komunitas yang tidak berbagi norma kultural nasional yang dominan)
Kita, atau sesiapapun di dunia, ingin diakui atas dasar identitas dan segala hal yang melingkupi identitas tersebut. Identitas yang tak bisa dijual atau ditukar dengan barang apapun. Begitupun masyarakat Papua, ingin diakui sebagai sebuah bangsa asal masih dalam bingkai NKRI.
Baca Juga:Banjir Terus Berulang, Bukti Gagalnya SistemPasar Tumpah Dilarang, Kerumunan Lain Dibiarkan
Perlawanan Identitas
Identitas sebagai penanda tak lepas dari sejarah masa lalu. Kekinian Papua ditentukan peristiwa masa lalu dan menentukan masa depan. Ras Melanesia (hitam-kriting) identitas yang khas, menjadi salah satu cara untuk melawan. Karena tak sama dengan yang lain. Orang Indonesia pun memang tak sama warna kulit, etnik, budaya, dan agama. Tak sama identitasnya.
Sejarah dibangun dari dialektika dan pergumulan antara pengguna/penuntur dan penanda. Sejarah pertentangan kepentingan dalam berebut makna penanda selalu terulang. Penanda sebagai identitas menjadi simbol pertarungan kepentingan. Maka tafsir akan penanda, bergantung kepada posisi dan kepentingan sipenafsir. Lagi-lagi penguasa yang menentukan bandul sejarah berikutnya.